“Mati Yang Diulang” karya Femi Khirana

Malaikat Jubah Putih (MJP) bingung. Akhir-akhir ini banyak manusia yang mati bunuh diri. Ruang Rehabilitasi Akhirat yang dialokasikan untuk tempat manusia mati bunuh diri itu, sudah penuh sesak.

Seperti biasa MJP menginterogasi penyebab manusia mengambil jalan pintas sebelum manusia menghadap langsung kepada Yang Kuasa.

MJP : Apa alasan kalian bunuh diri?
Si Miskin : Gak bisa bayar hutang.
Si Patah : Patah hati.
Si Sakit : Cacat seumur hidup.
Si Bangkrut : Gak ada kerjaan dan usaha selalu bangkrut.
Si Kecil : (Manusia ini tercatat baru berusia 8 tahun) Gak naik kelas.

MJP menggelengkan kepala, ternyata alasan manusia bunuh diri dari zaman batu sampai sekarang selalu klise. Karena Ruang Rehabilitasi Akhirat makin sesak, beberapa manusia terpaksa dikembalikan ke dunia. Kesempatan hidup yang kedua ini diatur sedemikian rupa agar manusia tersebut tidak mati bunuh diri lagi.

Maka, 
Si miskin dijadikan konglomerat.
Si patah dijadikan berwajah rupawan.
Si sakit dijadikan atlet terkenal.
Si bangkrut dijadikan seorang pejabat.
Si kecil dijadikan murid pintar. Manusia pun bahagia ketika kembali ke dunia.

MJP lega dan berharap kelak mereka mati dengan cara wajar.


Hanya tiga bulan Ruang Rehabilitas Akhirat itu lengang. Bulan ke-4 kembali penuh sesak.

Lagi-lagi MJP harus menginterogasi dan terpaksa membuat program menduniakan manusia lagi. Dalam proses interograsi, MJP terkejut sangat, karena Si Miskin, Si Patah, Si Sakit, Si Bangkrut, dan Si Kecil ternyata mati bunuh diri lagi!

MJP sangat berang.

MJP : Kalian mati bunuh diri lagi!!! Kenapa???
Si Miskin: Harta saya habis gara-gara ditipu.
Si Patah: Saya dicerai karena sudah tidak laku jadi artis.
Si Sakit: Saya gagal meraih kejuaraan nasional.
Si Bangkrut: Saya divonis penjara karena dijebak koruptor.
Si Kecil: Saya pintar, tapi ndak bisa lanjutin sekolah.
MJP: (Pusing) Jadi kalau kalian hidup lagi, minta jadi apa??? 

Manusia pun saling memandang satu sama lain. Si Kecil pun didaulat jadi jurubicara,
“Kami tidak minta dijadikan apa-apa.. Kami hanya minta ada orang yang mau peduli dan memperhatikan kami ketika kami sudah tidak bisa berbuat apa-apa.”

MJP pun menghela nafas panjang dan sedih. Remedial terpaksa dibatalkan.
“Maaf, permintaan kalian terlalu sulit untuk direalisasikan hiks… hiks…”


Judul asli tulisan ini adalah "Remedial", sebagaimana ditulis Femi Khirana.

Tulisan ini dapat dikategorikan sebagai #flashfiction. Karakter tidak boleh lebih dari 1000. Berbeda dengan #fiksimini yang lebih ekstrem (hanya boleh mentok 140 karakter, mirip dengan Twitter dulu, yang mirip SMS jumlah karakternya). 

Ciri flashfiction atau fiksi mini: 1) langsung ke konflik, dan 2) ending twist

Penulisan Skenario: Menciptakan Karakter (bagian 1)

Ketika membuat premis (sudah saya ulas sebelumnya pada blog ini), sebenarnya sudah ada karakter, tetapi masih sederhana dan belum mendetail.

Nah, sekarang kita akan mematangkan karakter.

Sebelum menciptakan karakter dan fase-fase karakter, kita harus punya pemahaman soal karakter ideal.


Apa itu karakter ideal?

Karakter ideal adalah karakter yang memilki sifat unik dan realistis secara seimbang dan baik.

UNIK

Harus unik, supaya berbeda dengan yang lain. Sehingga ketika ditonton/dilihat orang, mereka tertarik, “oh, ini berbeda nih dari yang lain“. Jangan sampai orang mengatakan, “sudah sering melihat yang begini“, jadinya orang tidak tertarik.

Sekali lagi, ingat, seni pertunjukan adalah pertarungan merebut perhatian.

Tapi hati-hati.

Ketika menciptakan sesuatu yang unik, penulis kerap tergoda untuk menjadi liar, keluar dari realita. Jadinya karakter yang diciptakan jauh dari kenyataan. Nyeleneh.

Unik tidak harus berarti aneh. Ke-unik-an yang dimaksud disini adalah hasil dari detail yang lebih banyak.

Bagaimana kita bisa memberi detail yang banyak pada sebuah karakter? Tidak ada pilihan lain: Kita, sebagai penulis, harus mengenal betul karakter tersebut.

Metode paling mudahnya ialah dengan membayangkan karakter yang sedang kita khayalkan ini mirip dengan siapa pada kehidupan nyata kita. Bisa jadi dia adalah diri kita sendiri, salah seorang teman, orang tua, atau orang lain yang punya pengaruh kuat pada diri kita.

Misalkan karakter yang mau kita jadikan tokoh (baik tokoh utama maupun tokoh figuran) dalam film mirip dengan diri kita sendiri, maka sepanjang penulisan skenario, kita tinggal mengingat wajah kita sendiri. Kalau sedang bahagia, sikap kita seperti apa. Ketika sedih atau menghadapi masalah, sikap kita bagaimana. Baju apa yang senang kita pakai, musik apa yang senang kita dengarkan, teman seperti apa yang kita akrabi, orang seperti apa yang kita sukai dan benci, dan detail seterusnya.

Dengan demikian, karakter yang sedang kita rancang ini benar-benar unik (Lat. uniquus: satu-satunya, tak bisa disamakan dengan orang lain). Kita tahu benar bahwa diri sendiri berbeda dengan orang lain, bahkan dengan orangtua atau saudara kandung sekalipun.

Nah, metode yang sama juga kita lakukan kalau kita mau membayangkan karakter tadi mirip dengan salah seorang teman kita, atau orangtua kita atau siapapun yang kita kenal.

REALISTIS

Ciptakanlah karakter yang realistis (kecuali untuk genre film sci-fi atau sedang membahas sosok alien yang jauh di masa depan yang gambaran kehidupan mereka pun jauh dengan yang kita alami sehari-hari).

Jika tidak realistis, penonton akan merasa skeptis atau malah jadinya aneh.

“Mana mungkin ada karakter seperti ini?”.

Karena itu, menciptakan karakter yang realistis adalah suatu keharusan sehingga nanti ketika script yang sedang kita rancang menjadi adegan, penonton bisa relate dengannya.

Contoh karakter yang ikonik dalam sejarah film Indonesia, misalnya Cinta (dalam Cinta dan Rangga).

Jadi sejak awal kita harus tanamkan dalam fikiran bagaimana caranya kita menciptakan karakter yang unik dan pada saat yang bersamaan juga harus realistis.

FASE-FASE KARAKTER

Untuk menciptakan sebuah cerita yang kuat, kita sebagai penulis, harus sangat kenal dengan karakternya. Kita harus membangun sebuah dunia untuk karakternya. Apa yang terjadi sejak dia lahir sampai dia besar dan dewasa, khususnya untuk karakter utama.

Walaupun tidak semua informasi tentang karakter ini tidak akan sampai kepada penonton, tetapi sebagai penulis kita harus mempunyai sebanyak mungkin informasi tentang karakternya karena dengan itu baru kita tahu kelemahan dan kekuatannya, bagaimana sikapnya ketika menghadapi konflik yang akan terjadi.

Sekarang mari kita bagi fase-fase yang dialami oleh si karakter kita tadi.

Misalkan karakter yang mau kita ciptakan bernama Rebecca.

Fase pertama, karakter ketika lahir. Ini menyangkut identitas, atribut fisik, jenis kelamin, suku, kondisi sosial-ekonomi. Ini sudah harus sudah kita ketahui dulu sebagai pijakan awal. Setidaknya dari hal ini, kita harus sudah tahu karakter kita lahir dalam keadaan seperti apa. Ini sebagai pijakan awal.

Nah, kita coba aplikasikan.

Rebecca seorang perempuan, berumur 17 tahun. Rambutnya panjang hitam terurai melewati pundak. Tai lalat di sudut kiri bibirnya membuatnya manis ketika tersenyum. Ayah dan ibunya orang Toba, jadi dia pun mengenakan marga mengikuti marga si bapak.Sehari-hari Bapak bekerja sebagai petani kopi, sementara ibunya adalah guru honor di sebuah sekolah swasta di desanya dengan gaji pas-pasan.

Fase kedua, karakter ketika menjalani kehidupannya.  Ini menyangkut pertemanannya, pendidikan, tragedi, percintaan, romansa, hubungan dengan teman dekat atau keluarga dari lahir sampai ketika film dimulai.
Fase ketiga, karakter saat film dimulai. Pada tahap ini, begitu penonton mulai melihat tayangan film, mereka sudah harus langsung mengenali karakter itu. Penonton sudah harus memahami karakter itu seperti apa.

Apakah Rebecca ramah? Pemalu? Pemarah? Extrovert atau introvert? Jujur penuh integritas atau licik dan penuh akal bulus?

Ini akan sangat tergantung juga dengan usia karakternya. Jika di awal kita memilih usia karakter utama adalah anak-anak atau remaja, mungkin tidak banyak yang harus kita petakan karena pada usia seperti itu relatif belum banyak yang dia alami. Berbeda kalau misalnya tokoh kita adalah pria dewasa atau bahkan seorang kakek, tentu kita bisa membayangkan betapa banyak peristiwa hidup yang sudah ia lalui.


Jadi saat kita mau menciptakan karakter, kita harus melakukan pemetaan (mapping) ini. Kita bisa melakukannya dengan membuat pertanyaan-pertanyaan dan menjawabnya sendiri. Pertanyaan apapun yang menyangkut karakter itu. Lahirnya bagaimana? Selama hidupnya bagaimana? Terus, dengan pengalaman hidup seperti itu, nanti hasilnya dia akan jadi orang seperti apa?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi gudang atribut untuk kita sematkan pada karakter.

Ini berlaku untuk karakter utama, maupun karakter figuran lainnya.

 

 


Tulisan ini adalah parafrase mandiri Saya terhadap penjelasan Ernest Prakasa di Kelas.Com

“Asong A.K.A Kristoforus” – Fiksi dengan Ending Psikologis oleh Femi Khirana (2)

Ibu separuh baya itu menangis terus menerus. Sejenak ia sempat terdiam, hanya diam. Tetapi kemudian air matanya mengalir lagi. Mulutnya kembali mengoceh-ngoceh kepada suaminya yang sedari tadi mengelus bahunya untuk tenang. Mereka sedang berada di atas kapal dalam perjalanan ke Jakarta.

“Ini gara-gara Papa suruh Asong sekolah tinggi-tinggi lahhh… Kalau dia tidak kuliah, tak bisalah dia di penjara begitu…” ujar wanita yang adalah ibu kandung Asong.

“Sssttt… Sudah… Tak usahlah lu salah-salahin sekolahan terus… Wah¹ suruh Asong sekolah itu supaya nasibnya jangan buka warung terus kayak kita…,” belum usai ayah kandung Asong berargumen, wanita itu sudah menepis,
“Ya harusnya Asong dagang pun wah sudah senang! Asong itu anak pintar, tak usah dia sekolah bagus-bagus dia sudah bisa cari uang dari kecil. Buat apa sekolah tinggi kalau Asong akhirnya masuk penjara! Wah tak suka dia terlalu pintar, karena Asong memang orangnya licik… Papa masak tak tahu sifat anak sendiri? Kalau sudah begini, kita yang susah!”

Si Papa Asong jadi tak enak hati dengan penumpang kapal yang memandang mereka.

Kedua orang tua Asong berangkat dari Pematang Siantar setelah melihat berita tentang Asong di harian lokal, Sumut Pos.

Memandang wajah Asong yang ditutupi dengan telapak tangannya tidak dapat mengelabui mereka untuk yakin jika orang yang korupsi di PT Gelas Pecah memanglah Asong.

Lebih diyakinkan lagi dengan nama baptis yang dipilih oleh mereka untuk anak kesayangan mereka, Kristoforus, yang digunakan di harian itu. Mama Asong langsung menangis sejadi-jadinya. Tak pernah dibayangkan anaknya menjadi seorang pesakitan di hotel prodeo.

“Asong gimana yah, Pa… Mama takut dia tak cukup makan, dia disiksa. Asonggg… Kenapa kau jadi bodoh sangatlah!” seru wanita itu lagi. Papa Asong hanya berharap kapal cepat tiba di pelabuhan Merak, agar teror kalimat istrinya berhenti.

“Lu jangan pikir macam-macam dulu…! Kalau Asong salah ya dia harus dihukum,” sergah Papa Asong

“Itulahhh! Bikin hidup susah sendiri, terlalu banyak mau! Bodoh sangatlah lu Asonggg!”

“Sudahhh… Tadi Mama bilang, Asong pintar. Sekarang bodoh…” Papa Asong mulai kesal.

“Dia jadi terlalu pintar, jadinya bikin kebodohan itu! Coba kalau dia lulus SMA saja, wah yakin dia juga sukses cari duit! Tak perlu dia kuliah ekonomi-ekonomi! Tak perlu susah-susah jadi sales sampai korupsi seperti ini! Lulus SMA saja dia bisa jadi boss sendiri, ndak makan gaji, hidup senang!” lanjut Mama Asong lagi.

Kali ini sang suami sudah malas menanggapi. Ia biarkan Mama Asong kembali menangis tersedu hingga tertidur.


Wanita itu tak tenang. Bolak-balik di pelataran sambil menunggu Asong keluar. Semua perlengkapan untuk Asong sudah disiapkan, termasuk buah durian kesukaan Asong. Walau hanya satu buah, ia yakin Asong senang bisa menikmati durian Medan.

“Pa… Asong kok belum muncul-muncul? Coba lu tanya mereka, Asong kok belum datang-datang??”

“Sabarlah… Lu duduklah!” seru Papa Asong.

Wanita itu akhirnya terpaksa duduk setelah mendengar nada tinggi dari suaminya. Ia tak akan membantah karena ia tahu suaminya tidak bermaksud memarahinya, melainkan menenangkannya. Lagipula Mama Asong sudah letih marah-marah.

Sudah bukan saatnya ngedumel, karena Asong sebentar lagi akan bertemu dengan mereka. Saatnya untuk tersenyum, menghibur Asong, menguatkan Asong. Walaupun Asong salah, dia tetap anak mereka. Mama Asong menganggap semua kesalahan Asong juga berawal dari kesalahan orang tua. Ya… salah mereka yang menyekolahkan Asong yang sudah pandai menjadi lebih pandai.

Suara derit pintu membuat mereka berdiri. Bergegas untuk melihat wajah yang akan muncul di hadapan mereka. Dan benar, itu adalah,

“Asonggg!” pekik kedua orang tua itu hampir bersamaan. Mereka menghambur ke arah Asong. Mereka memeluk Asong. Mereka menanyakan kabar Asong.

Tetapi, Asong hanya diam.

“Asonggg, cakaplah sikittt pada kami…! Kalau sakit, bilang! Kalau susah, omong! Nanti wah coba cari pengacara bagus buat lu… Biar lu tak usah di penjara lama-lama…” ujar si Mama. Asong tetap diam. Hanya memandang wajah kedua orang tua itu dengan pandangan rindu. Tak ada raut sedih, tak ada raut duka, tak ada air mata.

“Asonggg! Kenapa lu diam sajaaa???” tanya si Papa.

Kali ini Asong tersenyum.

“Asong rindu sangat sama Papa, Mama… Tapi Asong juga tidak suka kenapa kalian datang ke sini…”

“Loh… Papa sama Mama mau bantu lu lah, Song!” jawab Mama.

“Tak usaaahhh… Tak usah habis uang sampai harus ke Jakarta bantu Asong. Kan Asong sudah berkali-kali bilang simpan saja uang yang Asong kirim buat senang-senang di Siantar. Kalau lebih, sumbang saja uangnya buat adik-adik Asong yang tidak bisa sekolah di sana!”

“Aduuuhhh! Uang yang lu kirim selalu lebih, Asong. Sudah Mama sumbang juga masih lebih. Mama sekarang tahu, ternyata uangnya tak halal! Mama kecewa, Asong!” sesal wanita itu sambil menangis lagi.

“Itu uang halal. Itu uang hasil kerja Asong betulan. Itu bukan uang korupsi,” jelas Asong membingungkan kedua orang tua mereka.

“Loh… Kalau lu tak salah, kenapa harus di penjara?” tanya mereka hampir berbarengan lagi sambil kebingungan.

“Asong di penjara karena sudah tugas. Asong dibayar buat masuk penjara. Tak usah khawatir, semua sipir di sini baik sama Asong. Mereka tahu posisi Asong. Asong tak susah di sini, jadi Mama sama Papa tak usah rasa susah juga,” jelas Asong alias Kristoforus.

Kedua orang tua itu terperangah mendengar kata-kata Asong. Terlebih wajah Papa mulai memerah.

“Wah sekolahin lu bukan jadi budak-budak boss, Asong! Wah mau lu yang jadi boss! Memang lu dapat uang tapi hidup tak bebas, buat apa! Lu jangan bodohhhh, Asong!” tegur si Papa.

Asong menggeleng-gelengkan kepala.

“Papa salah. Justru Asong yang jadi boss. Asong yang atur semua ini,” kata Asong dengan tenang.

“Sialan lu! Lu bikin orang tua susah! Papa juga bukan mau lihat lu jadi boss penjahat, tolol!” kali ini Papa semakin berang. Sementara Mama Asong semakin menangis melihat kedinginan Asong.

“Sudah… Papa sama Mama tenang saja. Tidak usah khawatir. Asong akan baik-baik saja. Uang yang Asong kirim jadikan gedung-gedung di kampung kita saja kalau Papa Mama kelebihan… Anggap buang sial kalian,” kata Asong seakan-akan tidak terjadi pergulatan apapun dalam hubungan mereka. Namun tidak demikian dengan Papa. Umpatan demi umpatan dengan bahasa Hokkian² mulai meluncur dari mulutnya. Tetapi Asong tidak perduli hingga waktu jenguk mereka habis.


Kepulangan ke Siantar kali ini sudah tidak diwarnai isak tangis dari Mama Asong. Sebaliknya pria di sebelahnya, suaminya, yang terisak-isak. Sedu sedan ditahan tetapi tetap tak mampu disembunyikan.

“Sudahlah, Pa… Asong kan sudah bilang, dia baik-baik saja. Nasiblah, Pa… Mungkin sudah nasib dia begitu,” hibur Mama Asong.

“Nasib apa? Nasib jadi buron?” keluh pria itu dengan sedih.

“Nasib jadi orang pintar, orang kaya tapi harus jadi buron,” kata Mama Asong melengkapi pernyataan suaminya.

“Itu bukan nasib. Itu bodoh! Sudah wah sekolahin tinggi-tinggi, dia tak tambah pintar!” sergah Papa Asong sekaligus meyakinkan istrinya bila Asong memang harus sekolah akibat kebodohan Asong.

“Sudahlahhh…! Wah juga tak tahu sekolah itu bikin Asong tambah pintar atau tambah bodoh, tak usah dipikir lagi. Sebenarnya wah hanya menyesal kita suruh dia merantau dan sekolah di luar Siantar. Coba kalau dia kita kekang, mungkin dia tidak tambah licik,” sesal Mama Asong. Kali ini suaminya semakin terisak dan kembali melontarkan umpatan-umpatan bahasa Hokkian.

“Kenapaaaa lagiii luuu, Paaa? Sudahhh… Kita ikut saja kata Asong. Kalau ada uang lebih, kita bagi-bagi ke orang,” hibur istrinya lagi.

“Waaahh… wahhh… salah liauuu³!” pekik sang suami.

“Salah apa lagi???”

“Wah ingat waktu Asong kita suruh merantau, wah kasih nasihat… Jangan jadi orang licik lagi, jadi orang baik, jadi orang yang suka membantu orang susah. Wah kasih tahu dia supaya jangan korupsi duit orang, kalau mau korupsi sekalian triliunan! Biar masuk koran, biar terkenal… Tapi wahhh ndak sangkaaa… Ndak sangka kalau Asong benar-benar ikut omongan wahhh… Asong benar jadi orang yang bantu orang susah, tapi dia juga jadi koruptor, masuk koran, terkenal…!” pria itu menangis lagi.


Beberapa bulan kemudian, masyarakat digemparkan dengan seorang narapidana bernama Kristoforus sekarang buron. Kabar kabur mengatakan ia melarikan diri ke Hong Kong. Tapi anehnya, tak ada yang mencari Papa dan Mama Asong. Mereka tidak dibenci karena sumbangsih dana yang besar untuk kampung mereka. Mereka tak pernah diinterogasi oleh pihak intelijen manapun. Semua mulus, semua lupa, jika di Pematang Siantar ada seseorang bernama Asong alias Kristoforus.

Belakangan hari barulah beberapa media massa yang tergolong nyinyir membuka kedok Kristoforus yang sudah dipetieskan. Asong dicurigai melindungi bisnis seorang anak pejabat tinggi negara . Berani menerima kenyataan untuk menjadi buron ditanggapi oleh Asong, dengan catatan menikmati lima puluh satu persen dari semua keuntungan grup perusahaan Saudagar X. Asong pun dikabarkan meminta jaminan agar keluarganya tidak diusik. Secara tidak langsung Asong yang awalnya menduduki jabatan sebagai top sales di salah satu anak perusahaan Saudagar X, sekarang sudah menjadi komisaris misterius dengan saham terbanyak di grup perusahaan besar.

Skenario pelarian Asong sudah terbuat dengan rapih. Asong dibuat mengaku melarikan dana penjualan dalam jumlah besar yang cukup untuk membayar kredit pinjaman dari bank. Akibat Asong buron, anak perusahaan dibuat pailit dan tak mampu membayar kredit bank. Dana lenyap seiring kaburnya Asong. Tetapi grup perusahaan semakin berkembang pesat. Dicurigai adalah keterlibatan dana dari Hong Kong itulah yang membuat orang menduga Asong ada di Hong Kong. Tetapi tak ada satu pun yang mencari. Asong lenyap, di telan bumi.


20 tahun kemudian …

Pria itu termenung di depan dua nisan. Ia, sendirian. Memejamkan mata sambil sesekali terisak.

“Wah rindu sama kalian… Wah sering melihat kalian, tapi wah tidak bisa peluk kalian… Kalian juga sudah tidak kenal dengan wajah wah…,” bisiknya.

Dikeluarkannya beberapa foto dari album foto yang digenggamnya.

“Ini istri wah… Ini cucu kalian… Mereka bahagia, seperti kalian bahagia.”

“Maafkan, Asong, Papa… Mama… Ini bukan salah kalian… Asong yang salah. Dari kecil Asong selalu dirampok. Waktu Asong jualan banyak yang suka hina-hina Asong anak miskin. Tapi kalau jualan Asong laku banyak yang minta uang pakai ancam, Asong dulu suka bohong sama Mama kalau Asong setorannya kurang. Asong pakai alasan kalau makanannya Asong bagi-bagi ke kawan, dan Mama bilang Asong anak licik. Asong terima, padahal Asong dipalak,” sejenak Asong terdiam menahan beban di dada.

“Waktu Asong sekolah dan pintar banyak yang minta Asong harus kasih contekan. Waktu Asong bawa uang jajan lebih, Asong sering dipukul kalau Asong tidak kasih mereka. Asong dendam… Asong marah! Asong benci! Papa sama Mama sibuk di pasar, jadi Asong tak mau cerita. Asong takut Papa sama Mama jadi susah, karena Asong tahu Papa dengan Mama sudah susah payah sekolahin Asong,” dan Asong termenung kembali. Ditarik nafasnya dalam-dalam.

Dirasakan degup jantungnya sudah tidak stabil, ia terlalu letih bersembunyi menjadi orang lain. Memendam segala kemarahan yang sudah terbalaskan.

“Asong berterima kasih sama Papa, Mama, karena Asong bisa keluar dari Siantar. Di Jakarta, tidak ada yang kenal sama Asong. Asong berniat harus jadi penguasa! Asong berteman dengan orang-orang penting. Asong ajar mereka ketrampilan dagang Asong. Asong ajar mereka supaya licik. Asong setir mereka, dan mereka kasih uang. Mereka tidak berani dengan Asong karena Asong pegang banyak rahasia mereka. Asong rela di penjara asal jadi presiden mereka. Asong puas!”

Kali ini tak ada air mata lagi, senyum ia kembangkan.

“Asong sekarang sendiri. Karma dari kesalahan. Keluarga Asong lari dari Asong karena marah sama Asong yang sering tinggalin mereka. Asong rela. Asong memang banyak salah, tapi setidaknya kalian semua senang. Sebenarnya Asong menyesal diseret dendam. Sekarang Asong senang kita bisa kumpul lagi. Asong capek jadi penguasa. Asong mau istirahat sekarang…. Rumah besar yang kalian bangun ini cocok untuk kita bertiga ya…”

Asong berjalan tertatih dengan bantuan beberapa polisi yang menemaninya. Ya, setelah sekian lama, Asong menyerahkan diri dan membongkar semua sindikat yang pernah dijalani. Ia diadili dan dijadikan tahanan rumah akibat kesehatan yang terus memburuk.

Asong meninggal di rumah besar yang dibuat oleh orang tuanya di Siantar itu yang kemudian dijadikan kerabatnya menjadi Yayasan Kristoforus. Yayasan yang sengaja oleh Asong diminta untuk dibuatkan dalam surat wasiat sebagai rumah perlindungan dan pengembangan kepribadian bagi anak-anak korban bullying.

 

[1] Wah = saya (dialek bahasa hokkian yang sudah sedikit meng-Indonesia yang digunakan untuk perantauan Cina-Medan).
[2] Hokkian = salah satu suku dari bangsa Cina yang paling banyak merantau ke Indonesia.
[3] Salah liau = sudah bersalah (dialek hokkian).

(Repost 2009)

“Hidung Godfather” – Fiksi dengan Ending Psikologis oleh Femi Khirana (1)

Dia, bertubuh gempal, berkumis tipis.

Dia, yang sepuluh tahun lalu hanya seorang petugas keamanan di perumahan elit kawasan Pondok Indah. Dia yang semula hanya nebeng di rumah kampung mertua indah, lalu mencoba sewa rumah gubuk derita bawah jembatan tol yang akhirnya digusur. Namun seiring naiknya pamor sebagai satpam, ia dapat mengontrak rumah bedeng. Lalu tiga tahun terakhir ini sudah mampu ngontrak rumah sederhana di kawasan Kebayoran.

Dia, bertubuh gempal, berkumis tipis.

Orang memanggilnya sebagai Mas Wawan. Terlalu panjang bila dipanggil Kurniawan, nama aslinya. Nama itu pun baru mencuat di kawasan perumahan Pondok Indah setelah kemenangannya memukul maling di perumahan itu.

Ya, sejak itu dia mulai disegani.

Dulu? Boro-boro! Selalu senior-senior yang dapat jatah istirahat yang banyak. Tetua satpam selalu dapat seseran yang menggiurkan. Ia hanya sesekali dapat uang rokok bila ia sedang sendirian menjaga portal tatkala matahari baru akan menyembul.

Mas Wawan, yang dulu bertubuh gempal mulai terlihat sembulan perut di tubuhnya. Hanya kumis tipis saja yang tetap dipertahankannya. Karena dia tidak mampu menahan gatal seputar bibir dan khususnya hidung. Tetapi ada satu alasan lagi kenapa ia tidak membiarkan wajahnya sangar. Ia tetap membiarkan wajahnya klimis.

Ya, penyebabnya hanyalah karena hidung besarnya yang harus terlihat jelas! Itu hidung keberuntungan katanya.

Sebenarnya ia percaya tidak percaya dengan hidung keberuntungan. Tetapi karena orang-orang keturunan Cina yang tinggal di perumahan itu selalu memuji hidung besarnya, ia jadi percaya dan selalu mengembang-kempiskan tanpa sadar jika sedang senang hati.

Katanya, berkat hidung besarnya itu ia mampu menjadi orang yang disegani sesama satpam. Sejak dipercaya untuk ikut serta mendapat seseran dari warga, ia juga mulai ngobyek sana-sini. Bila ada warga perumahan yang sedang ada hajatan, ia pun terkena bagian uang tambahan. Bila ada warga yang minta tolong dipanggilkan taxi, ia pun dapat giliran untuk mencari. Bila ada penjaja makanan masuk ke perumahan, ia harus dapat jatah uang masuk.

Ia mulai percaya bila hidung yang diberi Tuhan itu mampu menolongnya memperbaiki nasibnya. Ia mulai yakin bila dulu sang maling yang digasaknya memang ditakdirkan untuk bertemu dengannya agar ia dikenal warga sebagai satpam yang mampu diandalkan! Sejak itu uang yang dapat dipajak dari warga mulai masuk ke kantong silih berganti, bahkan terkadang tumpang tindih.

Jadwalnya untuk membantu warga jadi padat karena orang lebih percaya padanya untuk mengantisipasi masalah keamanan warga Pondok Indah. Uang rokoknya yang dulu hanya receh sekarang sudah harus berbentuk puluhan ribu jika ingin meminta pertolongannya.

Berkat hidung pula, Satpam Wawan tidak sempat menyicipi jabatan koordinator satpam. Belum sempat ia mengiyakan untuk menjadi koordinator satpam, ia sudah didatangi seorang berpangkat tinggi di ranah militer. Itulah saat-saat terakhir ia tinggal di rumah kontrak kawasan Kebayoran. Sejak direkrut oleh seorang yang berasal dari kemiliteran yang tinggal di kawasan perumahan itu, ia mulai jarang terlihat.

Orang hanya menebak-nebak keberadaannya. Ia menjadi gosip di kalangan karyawan perumahan Pondok Indah. Ada yang pernah melihatnya di pasar Senen, tetapi ada juga yang pernah melihatnya di terminal Pulo Gadung. Tidak jelas. Kabarnya, ia sudah jadi kepala preman pasar dan terminal. Tetapi yang jelas gosip yang paling betul dari antara mereka adalah Mas Wawan sekarang sudah enak, sudah jadi orang kaya dan ditakuti.

Ya, aku mengiyakan jika gosip jadi orang kaya itu adalah benar.

Sejak Ayahku, yang dipanggil Mas Wawan itu bergabung dengan organisasi preman, kami sekarang tidak perlu ngontrak rumah. Sekarang rumah ini mau diisi barang apapun tidak akan penuh. Ayah juga tidak perlu pusing-pusing mencari angkutan untuk pindahan lagi. Semua sudah permanen. Barang baru masuk dan keluar. Masuk untuk dinikmati, keluar untuk dibagikan kepada anak buah Ayah jika sudah tidak dinikmati lagi.

“Ini semua berkat hidung Ayah, Jun,” kata ayah berkali-kali sampai aku muak mendengarnya.

“Dan kamu juga orang yang sangat beruntung! Lihat hidungmu! Mirip Ayah, makanya kamu tidak pernah susah,” lagi-lagi kata-kata itu selalu membuat jengah.

Berulang kali kupandang wajahku, rasanya ingin kucopot hidung itu agar Ayah tidak membangga-banggakan keberuntungannya terus. Ingin kulakukan operasi plastik agar Ayah tidak menganggap aku anak yang ingin mengikutinya jejaknya. Tetapi setelah kutanya-tanya harga operasi plastik ternyata mahal! Kalau aku minta uang sebanyak itu ke Ayah pasti curiga juga.

Entahlah, aku tidak pernah suka dianggap penerus keberuntungan Ayah. Bagaimanapun aku merasa usaha Ayah tidak halal. Aku merasa Ayah hanya mengandalkan keberuntungan terus tanpa kerja keras. Bahkan aku merasa sebal bila melihat banyak anak buah Ayah yang nunduk-nunduk di depannya.

Sepertinya Ayah adalah juragan kejam yang bakal mencopot bola mata orang bila melawannya. Ya, aku tidak mau sama dengannya! Aku juga lelaki! Aku punya sikap, dan aku merasa, aku tidak seperti itu! Aku, bukan ayah! Hidungku ini pun bukan nasib dari Ayah! Aku harus berjuang untuk nasibku sendiri. Tidak seperti Ayah yang kudengar disegani, ditakuti, dan juga kejam itu.

Maka, sengaja aku memilih untuk kuliah agak jauh dari rumah. Aku ingin kos sendirian. Sebenarnya aku ingin ke luar kota, tetapi lagi-lagi Ayah bilang,

“Jangan! Kamu boleh ngekos, tapi tidak boleh keluar dari Jakarta!”

“Ayah! Aku mau belajar mandiri!” protesku.

“Kau tidak usah belajar mandiri! Dari sifatmu, Ayah tahu kalau kamu bukan orang yang suka bikin orang susah! Gak ada alasan kuliah di luar kota buat mandiri!” begitu alibi Ayah yang lagi-lagi tak dapat kulawan. Aku sama ciutnya dengan anak buahnya yang biasa hanya nurut.

“Tapi, Ayah!” aku coba usaha lagi untuk meyakinkannya.

“Hei, Jun! Pilihan hanya dua, boleh kos dan kuliah di Jakarta. Atau kau keluar dari Jakarta tetapi kau sudah bukan anakku lagi!” kata Ayah semakin tegas.

Lagi-lagi, aku memilih untuk tidak menjadi durhaka.

“Tetapi aku mohon satu lagi, Ayah…”

“Apa?!”

“Aku tidak mau pakai mobil Ayah, aku mau bayar kos dengan uangku sendiri. Aku mau cari kerja,” pintaku.

“Itu terserah! Kamu lihat saja nanti, Jun! Di manapun kamu bekerja, pada akhirnya kamu akan kembali kepada keberuntunganmu sendiri. Kamu akan bernasib seperti Ayah, suka tidak suka,” dan lagi-lagi aku yang mendengarnya menjadi mual.


Sejak itu aku merasa bebas. Aku tidak perlu dibebani dengan pandangan hormat dari orang-orang yang tak kukenal jika mengendarai mobil. Aku tidak perlu memberitahu satpam di rumahku sendiri bila hendak jalan-jalan seputar perumahan saja! Aku menikmati kehidupan dan aktifitas kampus.

Aku aktif di senat mahasiswa sebagai bentuk partisipasiku bila ada acara-acara turun ke jalan untuk memberantas penindasan kepada orang miskin. Kuanggap semangat melindungi mereka yang tertindas ini dapat membuang sebagian dosa-dosa Ayahku yang kabarnya boss preman.

Keberpihakanku kepada mereka yang tertekan di jurang kemiskinan kuharap dapat menebus segala keberuntunganku yang ingin kubagikan kepada mereka. Ya, lama-lama kusadari tindakanku seakan-akan berlawanan dengan tindakan Ayah. Ya, biarlah Ayah menjadi penjahat kelas elit, tapi aku justru ingin membela orang-orang yang biasa dipalak Ayahku dan komplotannya.

Entahlah, makin lama aku turun ke jalan melihat kenyataan hidup, hatiku semakin pahit dan kesal dengan Ayah. Apakah Ayah tidak punya hati kepada pedagang pasar yang sudah susah payah jualan tapi harus diminta uang keamanan terus? Apakah Ayah tidak kasihan dengan supir angkot yang akhirnya berekses jadi tindakan kurang ajar karena selalu ditekan setoran dan rasa was-was dirazia polisi? Jadi bila dulu aku menikmati semua hasil perasan Ayah, kini aku ingin menghapusnya pelan-pelan dari darahku.

Aneh, padahal kata Ayah aku menuruni hidungnya. Darahnya mengalir dalam tubuhku. Tetapi kok aku sama sekali tidak seperti Ayah yang bisa keras dengan lingkungannya? Aku tidak pernah bisa mengajak Ayah untuk terbuka pikirannya agar mencari pekerjaan yang normal-normal saja. Mengapa Ayah memilih pekerjaan yang kejam dan membiarkan dirinya menjadi kejam?

Bila aku membahas pekerjaannya, Ayah selalu menganggap aku belum tahu apa-apa soal kerjaan. Dan untuk hal yang terakhir itu rasanya ada benarnya.

Setahun aku ngekos, hingga kini aku memang masih tidak mendapatkan pekerjaan! Sering kusamarkan bila Ayah menelepon ke ponselku,

“Gimana? Udah dapat kerjaan?”

“Lagi tunggu panggilan, sudah wawancara, Ayah,” jawabku. Padahal tak ada satu pun wawancara yang menjanjikan aku akan mendapatkan kerjaan.

“Oh ya? Semoga berhasil. Kalau habis uang, bilang saja,” ujar Ayah.

“Aku tidak apa-apa, Ayah. Aku hemat-hemat, uangku masih cukup,” jawabku.

“Ya sudah, bagus! Semoga sukses!”

Dan aku jadi masygul setelahnya. Kuhibur diriku sendiri,

“Ya, tak apalah! Sementara belum dapat kerjaan, berarti aku masih bisa aktif di senat dan turun ke jalan untuk bantu-bantu orang.”


Siang itu di Terminal Kampung Melayu …

Aku sudah bersiap-siap dengan teman-teman kampus yang ingin turun ke jalan. Tujuan demonstrasi kali ini adalah tuntutan agar pihak aparat keamanan resmi terminal dapat menumpas preman berkedok keamanan di terminal Kampung Melayu. Ya, sepertinya ini adalah hari di mana aku melawan Ayah. Mahasiswa yang bernama Junaedhi melawan preman keamanan yang identik dengan profesi ayahnya, Kurniawan.

Situasi mulai ramai dengan mahasiswa-mahasiswa berjaket kuning, biru, dan hijau. Aku pun sudah siap berkoar-koar untuk melawan segala bentuk premanisme terminal. Aku juga bersiap-siap bila dipanggil untuk membacakan beberapa kalimat tuntutan untuk keamanan resmi di terminal agar menumpas preman yang menindas supir-supir terminal.

Udara makin memanas, suasana di terminal pun makin panas. Pendemo yang jumlahnya tidak terlalu banyak mulai dihampiri oleh sekawanan orang berpakaian preman. Aku dan pendemo lain semakin memanas untuk memaki-maki kekejaman mereka. Pendemo lainnya semakin gemas melihat aparat keamanan resmi terminal hanya diam-diam di depan kantor mereka.

Tidak tanggapnya aparat keamanan membuat kami meringsek ke kantor mereka. Beberapa pendemo mulai membalik-balikan meja dan kursi kantor terminal karena merasa dilecehkan. Sebagian pendemo masih tetap berkoar-koar agar aparat keamanan dapat menumpas premanisme.

Anehnya, kami yang awalnya hanya berupaya agar supir-supir tidak tertindas oleh preman malah merasa dilawan oleh dua pihak. Ya, pihak aparat keamanan yang menganggap kami sok pintar. Dan juga jelas dari kelompok preman yang tidak suka kami ikut campur dalam usaha mereka memalak.

Kami mulai didesak oleh dua musuh besar sekaligus! Aparat keamanan yang tersinggung mulai mendorong-dorong sahabat-sahabat kami yang berusaha masuk kantor terminal. Para preman juga mulai melesak ke arah kami agar kami bubar secepatnya. Kami marah! Dan kami tidak terima! Kami yang bertindak atas nama kemanusiaan ternyata hanya dianggap sampah!

Melihat pendemo mulai melawan, aparat pun tak segan bermain tangan. Mahasiswa pun tak segan melawan dengan batu sekadarnya yang terambil di tangan. Preman-preman pasar mulai menarik-narik mahasiswa agar segera keluar dari area terminal. Ketiga pihak bergelut! Ketiga pihak di terminal kampung melayu ini berperang! Ribut! Adu mulut, adu jotos, adu lempar, dan adu dorong terjadi! Rusuh!

Dan aku?

Aku dengan cepat berusaha menyelamatkan diri untuk dapat melapor ke polisi. Secepat kilat aku mengelak semua bentuk jotosan. Untung sejak kecil Ayah membekali aku dengan ilmu bela diri, setidaknya untuk urusan tangkis menangkis pukulan lawan, aku sudah tak takut. Dengan sekelebat aku berlari cepat. Melihat aku yang dapat lolos tanpa luka berarti, ternyata menarik perhatian beberapa preman terminal. Mereka berusaha mengejarku. Ya, jelas aku jadi sasaran! Sedari demo tadi, sepertinya mulutku paling pedas, membuat telinga mereka terbakar jelas!

Nafasku memburu, jantungku bergemuruh.

“Aku harus cepat sampai ke jalan besar itu! Kalau tidak bisa gawat dikeroyok!” jerit batinku untuk menyemangati tenagaku yang sudah ngos-ngosan.

Preman-preman di belakangku tetap berteriak menyuruhku berhenti sementara aku berlari dan semakin melambat dan lambat dan benar-benar pelan karena kehabisan nafas. Jarak mereka semakin dekat, aku berusaha tetap lari walaupun sebenarnya sudah berjalan tertatih-tatih.

“Sudah nyaris sampai jalan besar! Ayooo!” aku menyemangati diriku lagi.

“Woiii!!! Berhenti kamu!!!” teriakan gerombolan itu makin dekat. Aku makin kalut.

Kali ini betulan aku merasa takut, tetapi nafasku sudah habis, langkahku makin pendek. Batu-batu besar dan tajam itu mulai sedikit-sedikit membentur-bentur tubuhku sehingga aku harus berusaha melindungi tubuhku dan berkelit.

“Gila! Aku mati konyol hanya karena melawan anak buah ayahku!!!” aku marah dalam hati.

Kemarahan itu membuat aku membalikkan tubuh. Aku tidak berlari menghindari mereka lagi, kali ini aku menghadapi wajah mereka. Aku tidak boleh mati!

Aku berjalan menghampiri mereka dengan suaraku yang menggertak,

“Ayo! Siapa berani! Aku, Junaedhi! Kalian berani melawan anak boss kalian, Kurniawan??!! Heh??! Ayo! Kalau berani, maju!”

Tantanganku membuat mereka agak ciut. Sekilas ada yang percaya, ada yang tidak percaya. Tetapi jika mereka melihat hidungku, mereka seharusnya percaya! Bukankah ini hidung cetakan Ayahku, persis!

“Bohong!” Wah, ada juga yang ngotot tidak percaya bila aku anak seorang preman besar.

“Kurang ajar kamu! Kamu gak bisa lihat mukaku ini persis boss kamu itu??!” aku masih menggertak. Ini jalan satu-satunya agar tidak mati konyol.

“Bohonggg! Bohonggg!!” kali ini beberapa orang mulai memekik, tetapi mereka masih tidak berani maju. Seakan-akan mereka masih mengidentifikasi hidung besarku ini. Sembari mereka dalam aksi terpaku melihat diriku yang nekat, tiba-tiba mobil yang kukenal persis itu menghampiriku. Nafasku kembali membara, tetapi kali ini aku merasa sedikit tenang.

“Juned! Masuk!!!” perintah Ayahku. Ya, Ayahku ternyata ada di sini.

“Ayah! Aku… pulang…,”

“Masuk!!!” kali ini Ayah membentak lebih kencang. Segerombolan preman yang tadi mengejarku pun ikut mendengar dan mulai beringsut menjauh dariku. Mereka akhirnya sadar bila aku memang anak boss besar, Kurniawan.
Dengan berat hati, aku masuk ke mobil Ayah. Dan kami hanya berdiam-diam diri di dalam mobil. Entahlah apakah ia membenci anaknya yang melawan kawanannya, karena aku sendiri juga bingung apakah aku benci dengan Ayah atau tidak.


Sore Itu di Perumahan Pondok Indah …

Ayah berhenti di taman perumahan Pondok Indah, tempat dulu ia pernah menjadi satpam. Kami tetap di mobil, dan ia tetap diam. Lalu, ayah mengajakku keluar dengan cara membuka central lock pintu mobil. Kami berdua menuju taman itu. Tiba-tiba… plakkk!!! Ayah menampar pipiku. Aku sangat terkejut. Dan mukaku memerah, mataku pun memerah! Aku tahu sekarang, bila aku benci ayahku! Sungguh benci!

“Aku tidak pernah memukulmu, tapi kali ini harus!” kata Ayah.

Aku yang masih terkejut hanya diam. Seperti biasa, aku selalu kalah dengan kharisma Ayah bila ia sudah melontarkan kata-kata. Tetapi Ayah tak kunjung menjelaskan alasan mengapa ia menamparku. Akhirnya aku yang menjadi spaneng sendiri dan mulai membuka mulut,

“Aku ingin belajar hidup dengan normal, Ayah! Aku ingin punya pekerjaan yang tidak menindas orang! Aku tidak mau hidup enak sementara orang tertekan! Itu sebabnya aku tidak suka melihat orang susah dijadikan sasaran ketidakadilan! Hatiku selalu melawan semua pekerjaan Ayah! Aku malu!” Kulihat mata Ayahku dengan sinar kebencian, tetapi herannya kali ini Ayah tak terlihat murka dengan aksiku.

“Jun, apa cita-citamu? Kau ingin jadi tokoh masyarakat yang membantu orang susah?” tanya Ayah sambil memandang rumput-rumput rapih di sekeliling.

“Ya, jika memang harus… Pokoknya aku tak mau senang di atas penderitaan orang,” jawabku.

“Kau memang persis Ayah. Bukan hanya hidung… tapi semua…”

“Halahhh… Ayah! Jangan bahas itu terus! Aku bosan! Jelas-jelas aku tidak mirip Ayah! Ayah dikenal orang sebagai boss preman! Sedangkan aku ingin dikenal sebagai orang yang berbelas kasihan! Itu beda!” protesku.

“Hah! Itulah kenapa aku menamparmu!” seru Ayah. Dan aku bingung.

“Kau bingung?! Aku menamparmu karena kau sendiri tidak mengenal sifat Ayah. Kalau kau tahu sifat Ayah, kau akan paham mengapa aku setuju waktu orang merekrut aku untuk merintis organisasi keamanan untuk pedagang pasar dan supir terminal.”

“Yang aku tahu, Ayah adalah berandalan! Ayah kejam!” kataku. Ayah lalu memandangku dengan tajam.

“Memangnya kamu pikir tokoh masyarakat yang ada di tivi-tivi itu bukan orang kejam, Jun??! Kamu mau seperti mereka?! Silakan!!! Kamu kuliah saja sampai tamat, jadi wakil rakyat sana!! Ayah mau lihat, apakah kamu masih bisa berbagi untuk orang-orang miskin atau malah menimbun uang dari orang miskin!” sergah Ayah.

“Aku berusaha agar tidak seperti itu!” protesku.

“Kamu berusaha untuk tidak seperti itu berarti kamu tidak cocok untuk bekerja di sana! Di meja-meja kantor yang kamu harapkan jadi tempat dudukmu itu sudah sarat dengan uang darah rakyat, Jun!! Kamu sekolah, masak kamu tidak tahu itu??! Kamu tidak mau pun, kamu sudah terlibat jadi penindas!”

Kali ini tampaknya Ayah setengah benar lagi. Aku kembali lagi terdiam.

“Kamu kira Ayahmu ini berhati batu? Ayah tetap berhati lembek melihat teman-teman Ayah yang bekerja susah payah, tetapi uangnya selalu harus membayar uang keamanan pasar dan terminal dengan pungli yang gila-gilaan! Kau kira Ayah tega melihat teman-teman Ayah yang supir bis, supir truk, supir angkot dipalak habis-habisan oleh rampok? Dan kau tahu siapa yang merampok mereka, Jun?”

Aku menggeleng-gelengkan kepala.

“Kamu bisa lihat tadi waktu demo. Siapa yang marah saat kamu demo? Merekalah yang perampok! Posisi mereka membuat mereka bisa berbuat seenaknya kepada pedagang pasar, supir angkot, supir truk, supir angkutan. Dan Ayah adalah teman-teman supir yang dapat menjaga mereka dari rampok itu. Uang yang disetor supir kepada kami tidak sebesar yang ditagih petugas keamanan resmi. Mereka cukup membayar setengahnya, dan sebagai imbalan, kami melindungi mereka dari rampok. Uang setoran mereka kami bayar ke aparat keamanan resmi yang kami buat tidak berkutik harus menerima uang dari kami. Mereka tahu, jika mereka menolak, Ayah dapat melapor kepada organisasi yang membayar Ayah untuk memecat mereka,” penjelasan itu membuat mulutku menganga.

“Memangnya Ayah kerja sama siapaaa??!” tanyaku bingung.

“Rahasia dong!!” kali ini Ayah seakan guyon denganku.

“Sudahlah! Kau tidak perlu tahu! Kau juga bukan bagian dari kami, dan selalu menolak kami. Jadi Ayah tidak bisa terbuka untuk itu,” kata Ayah yang suaranya mulai melunak.

“Arrhhh!!! Siapa?” desakku. Ayah memandangku ragu-ragu.

“Ah…! Kamu itu kalau sudah maunya!!! Ya anggaplah aku bekerja dengan orang yang ingin menghapus dosa karena sudah menyicipi uang darah rakyat! Menghapus dosa dengan berbagi kepada rakyat tanpa diketahui orang dengan membuat peraturan tidak baku yang justru melindungi rakyat! Sudah jangan tanya lagi!” jawab Ayah.

“Apa aku harus ikut organisasi Ayah supaya bisa membantu Ayah?” tanyaku. Kali ini profesi Ayah mulai membius rasa keadilanku.

“Hahaha… Jangannn! Bukannya kamu mau jadi tokoh masyarakat tadi???” pancing Ayah.

“Hmmm… Kalau bisa tidak terlibat dengan uang darah rakyat, mengapa harus? Lebih baik terlihat jahat tetapi kenyataannya baik,” aku mulai berfilosofi di depan Ayah.

“Halah!!! Kamu! Sudah! Jangan ngaco! Kamu tidak boleh jadi preman!” larang Ayah.

“Loh kenapa??!”

“Ayah jadi preman untuk membantu orang karena Ayah bukan anak kuliahan kayak kamu! Kalau Ayah sekolah, ya Ayah juga gak mau, Jun! Ah… kamu itu! Sudah Ayah sekolahkan, tetap saja bego seperti Ayah!” kali ini aku jadi malu.

“Jun…”

“Ya?”

“Ayah menunggu kamu sampai kamu bisa kuliah dan jadi orang pintar. Ayah mau kamu terus bisa besar dengan selamat, karena Ayah tahu banyak musuh Ayah juga mengincar kamu. Itu sebabnya Ayah melarang kamu kuliah di luar Jakarta. Semua agar Ayah dapat memantau kamu, dan tidak kehilangan kamu,”
“Hmmm… “ aku bergumam, sedikit terharu tetapi juga merasa dianggap anak kecil. Dan sepertinya Ayah mengerti jalan pikiranku,

“Memang kamu sudah besar, kamu pasti tidak mau dikuntit seperti anak kecil. Tetapi Ayah belum tenang sebelum menceritakan alasan ini. Sekarang kamu sudah tahu, dan mudah-mudahan kamu bisa menjaga diri. Sejak kecil Ayah minta kamu untuk belajar bela diri adalah untuk melindungi kamu sendiri. Ayah sudah tua, tidak bisa berbuat apa-apa,”

“Ah… Ayah masih muda! Dan aku masih bisa teruskan pekerjaan Ayah,” aku menawarkan diri.

“Lagi-lagi kamu!! Kamu itu jangan bodoh seperti Ayah kenapa??!” Ayah kesal.
Aku tergelak-gelak kali ini dan Ayah pun ikut tertawa geli sekarang melihat kegilaan anaknya yang justru ingin mengikuti jejaknya sebagai preman.

“Ayah sudah menabung lama, Jun! Sejak jadi satpam dulu. Nasib Ayah yang cuman sekolah SMP ini kalau tidak mulai dengan memberanikan diri menjadi satpam jagoan dan preman, mana bisa dapat uang? Kadang ada rasa takut, tetapi demi menyambung nyawa kalian, Ayah lawan. Dan menumpuk kekayaan begini sebenarnya buat kamu,” ujar Ayah di sela-sela meredanya tawa kami.

“Hah?” tanyaku bingung.

“Pakailah uang kita untuk cita-citamu menolong orang miskin. Kamu anak kuliahan, kamu lebih pintar dari Ayah. Kamu mau bikin usaha, silakan. Yang jelas kamu bisa bantu orang-orang yang tidak punya pekerjaan, jadi punya kerja. Kamu mau bikin yayasan, silakan. Kamu bisa bantu orang-orang susah, dan kalau uang mulai berkurang, bisa dibantu donatur. Ayah kenal kamu dengan baik, seperti kenal Ayah sendiri. Kita sama-sama tidak tega lihat orang susah,” jelas Ayah. Aku jadi terharu.

“Yang jelas, kamu tidak boleh bikin partai!” seru Ayah lagi dan membuat kami kembali tergelak-gelak.

“Ayah…”

“Ya?”

“Rasanya, memang aku orang yang beruntung,” kataku.

“Oh ya? Kamu sudah merasakan hal itu rupanya?” tanya Ayahku tak percaya.

“Hmmm, ya! Menjadi orang kaya yang tidak tega melihat orang susah. Akhirnya kita memberi terus tetapi kita selalu tidak pernah jadi miskin. Itu keberuntungan,” jelasku.

“Nahhh!!! Tamparanku ternyata berhasil membuka otakmu!” kata Ayah bangga.

“Bukaaannn Ayah!” protesku.

“Loh??? Lalu??? Kenapa kamu tiba-tiba bilang kamu beruntung?” tanya Ayah bingung.

Kutunjuk hidung besarku pada Ayah.

“Ahhh… ya ya…” Ayah pun menunjuk hidungnya dengan bangga.

Saripati Berkat Perkawinan Batak

“Sai tubuma di hamu anak namarbisuk jala naburju marroha” (Kiranya lahirlah anak yang cerdas nan bijak serta baik hati). Itu saja harapan para orang tua Batak zaman dahulu saat memberi “pasu-pasu” dan doa pada pengantin dalam upacara adat.

Tak pernah dikatakan, “Sai tubuma di hamu anak namora jala parpangkat, aha pe diulahon asalma dapot hamoraon dohot huaso.” (Semoga lahir anak yang kelak jadi orang kaya dan punya kekuasaan, apa pun sedia dilakukan demi kekayaan dan kekuasaan).

Tetapi zaman telah berubah.

Orientasi kita Batak perlahan bergeser pula.

Lahirlah para Batak “raja olah”, oportunis, pemuja harta dan kuasa, bahkan tak masalah menghancurkan kampung para leluhur mereka demi uang.

Penulis: Suhunan Situmorang

Lirik Lagu Batak Semakin Jelek, Kok Banyak yang Suka?

Prolog

Sudah setahun berselang setelah Jarar Siahaan menulis di portal Laklak bahwa lagu Batak semakin tidak bermutu. Kepada pembaca, ia meneruskan sentilan Manahan Situmorang terhadap lagu Batak kekinian yang picisan dan asal-asalan syairnya. Bagi Jarar, generasi muda perlu mendengar lagu-lagu Batak tempo dulu yang bermutu tinggi dan mengandung ajaran budi pekerti.

Disebutnya, Manahan mengkritik lagu Batak zaman sekarang yang menulis lirik secara serampangan. Ia menyayangkan banyaknya tembang Batak yang ditulis asal jadi dengan campuran kata-kata berbahasa Indonesia, bahkan ada lirik lagu Batak yang bersifat tidak mendidik.

Ise mandokhon ahu selingkuh. Bukan bahasa Batak itu selingkuh, tapi mangalangkup. Kecewa, kecewa ahu, Ito. Kecewa? Seharusnya tarhirim“.

Manahan membandingkan lagu-lagu Batak yang terlah berusia empat puluhan tahun atau lebih, karangan tujuh maestro komposer Batak, yaitu Tilhang Gultom, Nahum Situmorang, Firman Marpaung, Ismail Hutajulu, Sidik Sitompul, Dakka Hutagalung, dan Tagor Tampubolon.

Lagu adalah puisi, maka pertahankan supaya tetap sastrawi.

Ketika mengajar di kelas, tak bosan Saya cerewet ke siswa ketika membahas lagu dan pengaruhnya bagi kebudayaan bahwa “lagu adalah puisi yang dinyanyikan“. Karena itu, harus susastra. Artinya harus sastra yang baik. Sastra yang baik itu seperti apa? Selain indah, harus pula menuntun orang pada kebaikan etika dan moral.

Sebuah lagu bisa terdengar merdu, liriknya puitis tetapi bukan lagu yang baik jika tidak memenuhi kriteria tadi, misalnya lagu “Mardua Dalan” dari Jen Manurung (sudah pernah saya ulas juga di blog ini).

Belum lagi jika membahas lagu sejenis “Orang Ketiga” atau “Te Hallet”. Lagu macam apa itu?

 

Kita kembali ke Manahan.

Tak cukup dengan menyebut nama, Manahan mengajak pendengar untuk mencermati langsung nilai susastra (sastra yang baik) dalam lagu-lagu hasil karya tujuh maestro tadi. Misalnya, lagu “Nahinali bakkudu“, senandung nan pilu tentang orangtua menangisi putranya yang tidak menikah hingga berkalang tanah, yang ditulis Nahum situmorang.

Nahinali bakkudu da sian bona ni bagot
behama ho doli songon boniaga so dapot
boniaga so dapot lakku dope nasaonan
behama ho doli tarloppo ho parsombaonan

atik parsombaonan dapot dope na pinele
behama ho doli songon burukburuk ni rere
matema ho amang doli
mate di paralangalangan da amang
mate di paraulaulan

Kemudian kita tahu bahwa Nahum memang tidak menikah hingga akhir hayatnya. Entah ada kaitannya dengan kisah hidup penulis langsung, tapi bagi yang mengerti bahasa Batak tentu akan terkagum dengan larik sastrawi yang menggunakan metafor klasik tersebut beserta makna filosofis yang diusungnya.

Tidak terbilang “panglatu“, akronim dari “Panglima Lajang Tua”, label peyoratif yang masih lazim kita dengar disematkan untuk pria Batak yang memutuskan tidak menikah hingga lanjut usia. Mereka pasti menangis mendengar lagu ini, meratapi nasib mereka sendiri, sebab di tengah konstruksi masyarakat Batak yang masih menganggap berketurunan sebagai sebuah keharusan, membujang hingga akhir hayat adalah aib yang mesti dihindarkan. Narasi seperti ini tentu sangat relevan dan membumi bagi kelompok panglatu tadi.

Pada sebuah cerpen berbahasa Batak, bagian dari antologi “Situmoing” narasi dengan tendens kritik tersirat ini juga dituturkan dengan apik oleh Saut Poltak Tampubolon. (Silahkan klik tautan ke Facebook ini untuk ngobrol langsung dengan Saut tentang buku yang dimaksud)

Ada lagu-lagu lainnya yang bisa kita periksa satu-satu dari kumpulan karya para komposer ternama di atas. Sebut saja misalnya “Sinanggar Tullo”, “Anakkonhi do Hamoraon di Au”, “Sitogol”, “Lisoi”, “Nasonang do Hita Nadua:, “Anju Ahu”, “Ndang Turpukta Hamoraon”, dan “Poda“.

Generasi Bona Pasogit versus Generasi Tiktok

Ulasan tentang Nahinali Bangkudu ini adalah buih kecil dari bukti lautan kerinduan para penikmat lagu Batak klasik. Mereka punya telinga musik yang sensitif. Mereka punya selera seni yang unik dan nalar yang tidak tega kalau musikalitas Batak tergilas begitu saja oleh kerasnya invasi selera pragmatis nan instan a la TikToker yang menggerogoti generasi muda.

Saat ini jumlah penikmat seni jenis ini mungkin belum banyak. Oleh pengguna Tiktok radikal, kelompok penikmat ini bisa jadi balas diejek dengan sebutan “jadul”, ketinggalan zaman, atau “kaku banget sih lo kayak kanebo kering“. Tidak masalah. Itu bukti demokrasi hadir di antara penikmat musik dan seni secara umum.

Meski tidak arif melabeli, tapi Saya mengusulkan untuk menyebut kelompok penikmat seni jenis ini dengan nama “generasi bona pasogit“. Nama ini kupikir cocok untuk mereka yang masih percaya bahwa ada nilai-nilai habatahon yang luhur itu masih ada, dan karenanya mesti tetap dipelihara. Siapa yang mesti menjaga? Ya, mereka yang tinggal dan hidup sebagai orang Batak, seperti gambaran ideal kita tentang bona pasogit.

Lho? Mengapa tidak gunakan saja pengelompokan berdasarkan umur: Generasi X (baby boomer), Y (milenial) dan Z (digital)? Tidak. Sebab, kulihat sendiri realitas yang terjadi. Ada old soul yang bisa kutemukan pada remaja belasan tahun. Sebaliknya ada pula orang yang sudah menjelang lanjut usia tapi masih doyan dengan lagu cover remix asal-asalan, yang penting ada terlihat tali pusar pedangdut bahenolnya. Ada juga generasi paruh baya yang demen goyang TikTok tak jelas (jangan salah, ada juga konten TikTok yang jelas dan mendidik, ini pengecualian ya).

Jelang Epilog

Tentu saja, hal ini tidak berlaku untuk keseluruhan lagu Batak yang tercipta zaman sekarang. Ini kesan umum semata, meski bukan juga generalisasi tergesa-gesa. Patut pula kita mengapresiasi para penulis lagu zaman sekarang yang hebat. Sebut saja Tongam Sirait, Willy Hutasoit (yang konon juga belajar bahkan meminjam lirik Tongam Sirait pada lagu yang melambungkan namanya), Alex Hutajulu dan nama-nama lain yang belum teridentifikasi saat ini. Nama-nama lain ini biarlah kita beri ruang lebar, sebab kita menunggu konsistensi mereka dalam proses berkesinian ini pula.

Oh iya. Selain Manahan Situmorang yang gelisah, Jarar yang menulis kegelisahannya, baru-baru ini kutemukan pula ulasan bernas oleh Panjotik Silaen.

Di konten videonya, Panjotik mencoba selangkah lebih maju. Alih-alih berkutat pada kegelisahan, ia mulai memberi edukasi tentang mengapa sebuah lagu bagus karena nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Dengan sederhana, ia membedah lagu “Holan Au Do Mangantusi Ho”

Satu hal positif tertangkap disini:

Generasi bona pasogit tidak bisa lagi berdiam diri sembari cemberut dan merengut kesal melihat generasi yang lebih muda lebih menyukai lagu picisan dan lirik asal-asalan. Mereka harus melakukan sesuatu.

Ada banyak faktor mengapa penurunan selera musik itu terjadi, selain dari pengaruh palsu “traffic” dan “Ad Sense” yang seolah menjadi tolok ukur sebuah lagu bagus atau tidak. Faktor utamanya ialah karena mereka tidak mengerti bahasanya.

What? Orang Batak tidak mengerti bahasa Batak? Tidak perlu heran. Itu realitas yang terjadi sekarang, disini.

Jika demikian, bagaimana mengatasinya? Kepada orang yang tidak tahu, beritahulah.

Ajarkanlah supaya mereka mengerti. Kalian yang mengaku punya selera musik bagus, ajarkanlah. Ulaslah mengapa lirik lagu Nahum itu pantas didengarkan. Tulislah bagaimana Dakka Hutagalung atau Tagor Tampubolon berusaha mempertahankan keindahan lagu Batak sembari bertahan di tengah kejamnya persaingan di industri musik nasional. Teruslah berbicara dengan anakmu perihal mengapa kamu tidak suka bergoyang TikTok, tapi masih setia mendengarkan lagu-lagu opera Tilhang Gultom. Tentu, tidak pula serta-merta melarang mereka ber-TikTok karena bisa jadi mereka akan langsung antipati.

Seperti layaknya proses pendidikan nilai pesan harus disampaikan dengan lembut, mengajarkan kearifan nilai dalam lagu Batak juga harus dengan halus pula.

Nanti, beberapa tahun kemudian, kita lihat hasilnya.


Habang binsakbinsak,
tu pandegean ni horbo
Unang hamu manginsak,
ai i dope na huboto

Balada Sedikit Fals Seniman Milenial

Pippo tak perlu mengetuk dua kali untuk tahu bahwa Ramon, sang adik, sedang berada di kamar. Ramon duduk di meja belajarnya, matanya menatap kosong lembaran partitur musik penuh coretan disana-sini. “Tidak perlu mengurung diri begitu, Bro”, tepuk Pippo di pundak Ramon sembari menarik kursi dan segera sibuk dengan jari-jemarinya mengusap layar HP.

Ramon melirik sebentar ke arah Pippo. ‘Oh, nggak apa-apa, Bang”, ucap Ramon. “Ini sedang mencari inspirasi saja, kepalang tanggung nih”, tambahnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Andai saja si kakak memahami apa yang sebenarnya membuat Ramon gelisah.


Tak biasanya Ramon merasa seperti ini. Ia kehabisan kata-kata untuk menjelaskan kepada saudaranya itu perasaan macam apa yang dia miliki terhadap musik. Akankah ia berani terbuka mengakui kecengengannya bahwa ia baru saja menangis karena sebuah lagu?

Pasti sungguh tidak masuk akal bagi Pipo yang sibuk “tak tik tuk” membalas satu persatu pesan di group Whatsapp kantornya. Menangis karena ditinggal pacar mungkin masih ditolerir. Ini, karena lagu?


Pikiran Ramon menjelajah liar ke berbagai dimensi. Ada alam alter-realitas dimana dia merasa kedinginan. Uang hasil mengamen semalam di kafe kota kecil itu bahkan tak cukup untuk membuatnya berani menghadap ibu kos, memberitahu bahwa uang kos bulan ini kemungkinan akan terlambat lagi dibayarkannya.

Di alter-realitas II, Ramon tak kuat menahan haru tatkala menyaksikan kecewanya Didi Kempit, temannya sejak kuliah di sebuah insitut seni, diusir dari rumah setelah bertengkar habis-habisan dengan seisi rumah. Rupanya sudah sejak dulu orang tua Didi tidak pernah menyetujui pilihan karir anaknya itu. Mau hidup dari bermusik di zaman sekarang, bisa kasih makan apa anak-istrinya nanti.

Segera berkelibat pula alter-realitas III. Ramon dan Didi berpelukan setelah konser yang mereka rancang berbulan-bulan akhirnya selesai juga. Penonton tidak banyak memang, tiket tidak habis terjual. Tidak juga ada jurnalis yang meliput dan memberitakan mereka, tapi itu tak menyurutkan kepuasan batin mereka berdua.


Ramon terkesiap. Sadar, khayalnya melantur terlalu jauh. Disini ada kakak kandung sedang mencoba membuka pembicaraan, dan ia malah asyik bengong sendiri.

Ia memicingkan matanya melirik kakaknya yang masih asyik dengan gadgetnya itu. Sepertinya sang kakak sedang serius membahas masalah kerjaan dengan rekan-rekannya. Oh, biarlah.


Meski matanya masih menatap lembaran partitur itu, sejatinya Ramon sedang membayangkan Elnoy. Seingatnya Elnoy adalah gadis bersuara merdu, sekaligus satu-satunya cewek di kelasnya yang tidak suka dengan Taylor Swift. Mereka punya kemiripan, sebab Ramon juga tak sekalipun tergoda memutar lagu Justin Bieber.

Oh iya, Elnoy juga pintar menggambar. Beberapa lukisan potrait-nya bahkan sempat menghiasi lini masa Instagram Ramon. Terakhir, semua postingan itu bersih, berganti dengan foto Elnoy dengan senyum getir berpose sembari memegang ID karyawan magang di sebuah bank ternama.


Ramon adalah jiwa orang tua yang terperangkap di badan seorang bocah 21 tahun. Jiwanya berontak menyaksikan betapa banyak temannya yang berbakat, gelisah dan menderita batin hanya untuk memutuskan serius di karir bermusik mereka atau berdagang mengikuti anjuran orangtua mereka. Ia tahu betul, beberapa diantara mereka bahkan tidak mendapat kesempatan untuk menampilkan lagu yang sudah mereka tulis.

Seperti hantu, Didi dan Elnoy serasa nyata menatap Ramon saat ini. Ia bergidik. Semua seperti tiba-tiba terlihat gelap sebentar lalu sekejap berganti pula dengan terang menyilaukan.


Ah, kampret benar. Ramon sadar, musik telah membuatnya merasa gila, sekaligus bahagia. Itulah yang terjadi saat ini.

Ada untaian nada lagu terdengar jelas olehnya. Sementara Pipo sudah beranjak dari kamar itu, sepertinya hendak menyeduh kopi. Itu jelas banget loh, kok hanya dia yang mendengar, Pipo tidak?

Ramon pun tersenyum. Dia baru saja menyadari bahwa apa yang dirasakannya saat ini, itulah kebahagiaan. Musik membuatnya bahagia, bahkan menangis bahagia.

Ia bergeser dari tempat duduknya. Meraih HP yang sedari tadi di-charge di sudut kiri mejanya. Sejurus, ia membuka pula Instagram-nya.

Di story-nya tertulis:

Ketika kamu bahagia, kamu menikmati musik. Tetapi ketika kamu sedih, kamu memahami liriknya.


Mungkin. Besok. Ramon akan merampungkan komposisi lagunya yang tanggung itu.

Lirik “Haminjon” – Swanto Holiday Feat Benny Marpaung

Sada turi – turian i
Na sian Ompui
Tu pinomparna i

Di tonga ni harangan i
Tombak na uli i
Mangolu tondi i

*
Hau na margota i
Gota na hushus i
Tonggo na uli i

Ilu ni si boru i
Boru ni raja i
Gabe pulungan i

Reff

Ujui longang do bangso i
Marnida hau namargota i
Ujui gabe do bangso i
Sahat sude akka sahala i

Mulakma hita tu bona i
Manat dohot di akka tona i


Haminjon

Lirik lagu yang baru rilis kurang dari sebulan lalu oleh Bram Records ini berkisah tentang haminjon.

Apa itu “haminjon”?

Haminjon (Batak Toba) adalah kemenyan atau Olibanum, aroma wewangian berbentuk kristal yang digunakan dalam dupa dan parfum.

Jika kamu seorang Katolik dan kerap mengikuti ibadah Misa (perayaan Ekaristi), tentu kamu tahu bahwa setiap kali ada sesi mendupai oleh sang imam maupun misdinarnya, bahan dasar yang digunakan adalah kemenyan.

Jika kamu orang Madura, khususnya yang berada di Desa Morbatoh, Kecamatan Banyuates, Kabupaten Sampang, kamu tentu tahu bahwa sejak jaman nenek moyang hingga kini ada tradisi Bakar Kemenyan dalam waktu-waktu tertentu.

Bahkan lewat cerita turun-temurun, masyarakat Tapanuli percaya kemenyan yang dihadiahkan bersama dengan emas dan mur oleh tiga orang Majus (Parsi) atau ” tiga raja dari Timur” untuk bayi yang baru saja dilahirkan oleh Maria, yakni Yeshua (ישוע), adalah kemenyan  yang dibawa dari Pelabuhan Barus, yang dulu pernah menjadi pelabuhan besar, menuju Timur Tengah, hingga ke Betlehem. Konon, selanjutnya Barus semakin ramai disinggahi oleh perahu-perahu layar antar benua sebagai pelabuhan pengekspor kemenyan dan Kamper (kapur barus).

Tiga deskripsi di atas baru nukilan kecil dari teks lengkap perihal luasnya penggunaan kemenyan dalam ritual-ritual suku-suku awal Nusantara hingga keyakinan dan agama di Indonesia modern ini. Mulai dari Sumatera, Jawa hingga Madura bukti-bukti terlihat jelas karena bahkan masih bisa kita temukan praktek penggunaannya hingga sekarang. Tak pula sebatas untuk ritual ibadah tetapi juga untuk kepentingan praktis sehari-hari, misalnya sebagai campuran tembakau untuk rokok.

Kristal kemenyan ini diolah dan diperoleh dari pohon jenis Boswellia dalam keluarga tumbuh-tumbuhan Burseraceae, Boswellia sacra (disebut juga Boswellia carteri, Boswellia thurifera, Boswellia bhaw-dajiana), Boswellia frereana dan Boswellia serrata (kemenyan India).

Terdapat 7 (tujuh) jenis kemenyan yang menghasilkan getah tetapi hanya 4 jenis yang secara umum lebih dikenal dan bernilai ekonomis yaitu Kemenyan Sumatra (Styrax benzoin), kemenyan bulu (Styrax paralleloneurus), Kemenyan Toba (Styrax sumatrana) dan Kemenyan Siam (Styrax tokinensis).

Melihat latar belakang Bram Tobing, komposer lagu ini serta lirik dan tampilan video musiknya, yang dimaksud dengan haminjon adalah Kemenyan Toba.

Mari kita bedah apa sih yang mau digambarkan lagu ini.

Bedah Lirik “Haminjon”

Kalau kita terjemahkan lepas, lirik lagu Haminjon dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut.

Sada turi – turian i (ada sebuah cerita)
Na sian Ompui (yang dituturkan oleh Leluhur)
Tu pinomparna i (kepada anak cucunya)

Di tonga ni harangan i (di tengah hutan)
Tombak na uli i (hutan yang indah)
Mangolu tondi i (hiduplah Roh)

*
Hau na margota i  (disitu ada kayu yang bergetah)
Gota na hushus i (getahnya harum mewangi)
Tonggo na uli i (untuk pengiring doa yang indah pula)

Ilu ni si boru i (asalnya dari airmata seorang gadis)
Boru ni raja i (ia adalah putri raja)
Gabe pulungan i (dan air mata itu menjadi obat penawar)

Reff

Ujui longang do bangso i (kala itu orang-orang disitu heran)
Marnida hau namargota i (demi melihat kayu yang bergetah itu)
Ujui gabe do bangso i (saat itu semua warga disitu damai sejahtera)
Sahat sude akka sahala i (sebagai berkat dari para Leluhur)

Mulakma hita tu bona i (maka marilah kita pulang ke Sumber)
Manat dohot di akka tona i (sembari tetap berpegang pada Nasihat)

Terasa bahwa lirik Haminjon hendak menyampaikan sebuah pesan (value) tradisi dan kepercayaan yang dianggap luhur oleh warga setempat.

Tradisi apa itu?

Marhaminjon di Sijamapolang

Dalam tulisan yang menjadi tugas akhirnya di Universitas Sumatera Utara, Imanuel Silaban mencoba mengelaborasi latarbelakang, realitas dan nilai berkebun kemenyan (marhaminjon).

Marhaminjon menjadi mata pencaharian yang paling banyak dilakoni masyarakat Bonandolok. Selain tidak memerlukan modal yang banyak, menanam dan panen kemenyan dapat memberikan hasil yang menjanjikan dibandingkan dengan bercocok tanam tanaman muda dalam periode waktu yang lama. Disamping itu, harga kemenyan saat ini dipasaran semakin lama semakin meningkat. Tentu ini menjadi alasan lain lagi mengapa masih ada petani yang betah mansigi (menyadap) pohon kemenyan alih-alih mengalihfungsikan lahannya untuk tanaman budidaya lain atau menjualnya untuk dijadikan rumah atau industri.

Masyarakat Bonan Dolok memiliki kepercayaan terhadap mitos pohon kemenyan.  Konon pohon yang menjadi penghasil getah kemenyan dulunya adalah Boru Nangniaga, seorang wanita cantik yang tinggal bersama orang tuanya.

Dulu keluarga ini hidup serba kekurangan sehingga harus berhutang kepada orang berduit. Tidak mampu melunasi hutangnya, sang ayah pun berencana menjodohkan putrinya kepada putra orang berduit itu. Sang putri tidak mau menuruti permintaan ayahnya karena dia tidak suka pada lelaki tersebut. Kemudian dia melarikan diri ke hutan untuk menghindar. Disana dia menangis tersedu-sedu karena merasa kesepian dan menyesali sikap ayahnya kepadanya.
Tiba-tiba sang putri berubah menjadi pohon, dan air matanya berubah menjadi kepingan-kepingan berupa kristal yang baunya khas dan wangi. Keluarganya mencari wanita cantik tersebut kehutan, namun yang mereka dapati bukan lagi sosok manusia ataupun wanita, melainkan sebatang pohon yang mengeluarkan getah harum. Itulah haminjon.

Uniknya, banyak pula warga Bonandolok menyebutkan bahwa getah pohon yang menjadi haminjon itu sesungguhnya berasal dari air susu wanita cantik tersebut. Akan tetapi karena menyebutkan susu dari payudara (Bahasa Batak Toba: tarus) di lingkungan masyarakat sekitar maupun disekitar hutan kemenyan dianggap tabu, maka masyarakat setempat sendiri memperhalus bahasa tersebut, alih-alih menyebut air susu, menjadi air mata.


Kini terjawab sudah tradisi yang melatarbelakangi lirik “Haminjon”. Lantas, pesan apa yang hendak disampaikan lewat lagu tersebut?

Menurutku, pesannya jelas: Berilah kesempatan kepada anakmu untuk menentukan jodohnya sendiri. 

Jika mau diekstrapolasi, pesannya bisa meluas. Yakni supaya setiap orangtua memberikan kesempatan kepada anak yang sudah dewasa untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri, entah dalam hal jodoh, karir, ideologi dan lain-lain. Ini saatnya generasi senior untuk mendidik dan memberikan pengertian kepada junior, bukan malah memaksa.

Cukuplah Siti Nurbaya yang mengalami pahitnya dunia akibat tunduk pada tradisi harus menghormati orangtua yang keputusannya tidak boleh dibantah. Cukuplah perempuan-perempuan mengalami derita akibat dipaksa menikahi pemuda sebagai tebusan untuk hutang, seolah-olah mereka adalah komoditas yang dapat dijadaikan nilai tukar layaknya uang.

Dengan demikian, “Haminjon” menambah perbendaharan kita untuk lagu yang mengusung kritik sosial terhadap perjodohan yang dipaksakan. Sebelumnya sudah ada “Cukup Siti Nurbaya” yang dinyanyikan dengan berani oleh Ari Lasso kala masih di Dewa 19.


Catatan Kritis:

Ada apa dengan huruf “i”?

Mengapa banyak sekali huruf i pada setiap akhir frasa di lirik “Haminjon”?

Benar bahwa “i” (Toba) berarti “itu“, it (English, kata ganti orang ketiga) dan karenanya komposer bisa berargumen bahwa banjirnya penggunaan kata “i” tujuannya jelas: untuk menyampaikan kepada pendengar bahwa latarbelakang tradisi lisan yang mau dikritisi itu spesifik, yakni Boru Nangniaga dalam folklore masyarakat Batak. Oke. Tapi apakah memang tidak ada metode lain untuk mencapai tujuan yang sama?

Kupikir masih ada sekian alternatif untuk menjadikan nilai dan filosofi tadi tetap tersampaikan sembari tetap menjunjung tinggi keindahan sastra dalam lagu. Olah kata dan diksi adalah pekerjaan seorang penulis lagu juga. Tentu selain repotnya mengerjakan musikalitas, merancang video klip, termasuk tektokan soal publisitas dan hal lainnya. Ini masukan saja.

Dari segi genre yang dipilih, “Haminjon” menambah daftar lagu bernuansa rock dengan lirik tradisional. Usungan subgenre metal rock a la band AC DC dan Metallica terasa sejak awal lagu. Petikan gitarnya sangar, dengan sedikit bantuan edit vokal seperti efek helium di penggalan vokal yang gahar membuatnya terdengar seperti lagu “Siksik Sibatu Manikkam” oleh Donald Black (saat mengisi mikrophone Djamrud setelah sempat ditinggal Krisyanto).

Perpindahan tonal dari musik intro ke vokal sangat kreatif, mirip dengan yang dilakukan Vicky Sianipar untuk lagu “Sinanggar Tullo”

Belum lagi dentuman double beat pada drum yang mengingatkanmu pada “Pangeran Cinta”, jika kamu adalah seorang Baladewa.

Singkatnya, “Haminjon” menjadi satu lagi lagu yang patut kamu masukkan di playlist Youtube atau Spotify-mu.


Catatan Akhir

Satu hal positif jelas terlihat:

Semakin banyak generasi muda melihat potensi melimpah dari tradisi lokal untuk dikemas ulang sehingga mengena dengan selera pasar kekinian.

Ini, tentu saja, menambah daftar pemusik dengan visi yang kurang lebih sama, sebut saja Rimanda Sinaga dengan “Pos Ma Roham da Inang” atau Plato Ginting dengan “Mejuah-juah Pal”

Luxury is in Simplicity

Apa godaan terbesar ketika berbicara? Berbicara dengan istilah yang rumit. Jika perlu dengan meminjam kata dari bahasa asing. Ekstremnya, sebisa mungkin sampai pendengar takjub karena bingung apa yang disampaikannya. Tujuannya untuk menciptakan sense of authority. Ibarat mau pamer ke penonton talkshow: “Ini loh. Kalian mesti tau, untuk topik ini, gue yang paling ahli dibanding lawan bicara gue ini”. Apakah pendengar memahami atau setidaknya bisa mengikuti alur pembicaraan, itu persoalan lain.

Apa godaan terbesar ketika menulis? Mirip dengan berbicara tadi. Menggunakan banyak kutipan terpercaya dari sumber yang sebisa mungkin susah diakses oleh pembaca. Tujuannya sama, sense of authority. Jika perlu ditambahi dengan istilah yang tak lazim. Ibarat mau pamer ke pembaca berita: “Ini loh. Kalian mesti tau, untuk tema ini, gue yang paling ahli dibanding penulis lain”. Apakah pembaca memahami atau setidaknya bisa mengikuti alur pikiran penulis, itu persoalan lain.

Apa godaan terbesar ketika berkesenian? Eh, sebentar. Kata “berkesenian” ini tampaknya biasa. Tapi kok susah mengartikannya ya. Gini. Berkesenian berarti mengikuti kaidah membuat karya seni, memahami tujuan dan dampaknya bagi penikmat karya, termasuk dirinya sendiri yang ikut terlahir kembali bersama terbitnya sang karya. Njelimet ya.

Apa godaan terbesar ketika hendak mencipta lagu? Mengakomodasi semua teori musik yang pernah dipelajari. Sebisa mungkin memuat banyak liukan interval akor, progresi, modulasi. Jika perlu, gabungkan semua jenis tangganada yang pernah dikenal manusia, termasuk yang mengabaikan nada dasar seperti yang dilakukan komposer zaman Romantik Pierrot Lunaire dengan komposisi atonalnya. Kalau masih bisa, tumpahkan semua elemen sinestesia dan bablas dalam mengartikan licentia poetica saat mencipta liriknya. Apakah pendengar bisa menikmati alunan nadanya? Itu soal lain. Apakah begitu mendengarnya seorang penikmat lagu langsung bisa merasakan motif lagu tersebut? Ora urus.

Alhasil, tidak ada pendengar yang tertarik dengan omongannya. Podcast atau konten Youtube edisi berikutnya akan sepi view. Tidak ada pembaca yang akan kembali melirik tulisannya apalagi berniat membeli bukunya. Tidak ada pendengar yang akan setia menunggu lagu berikutnya dari si pencipta lagu.

Lalu ketiga jenis seniman tadi pun heran. Kecewa karena menurut mereka, konsumen kurang mengapresiasi karya yang sudah dengan susah-payak mereka ciptakan. Ibarat pedagang: lapaknya rame saat grand opening, tetapi hari-hari berikutnya tak satupun pembeli datang.

Apa yang salah?


Suhunan Situmorang, seorang pengacar dan penulis lepas yang rutin mengisi dinding Facebook-nya dengan opini ringan namun mengena, pernah menulis begini (saya kutip seperlunya):

Sadarilah.

Mari tulis kisah dan pengalaman sehari-hari, juga alam sekitar, tradisi masyarakat, atau ketika tinggal di desa. Situasi kotamu kini pun menarik ditulis, termasuk perubahan-perubahan dalam pelbagai hal.

Kehidupan di medsos tak melulu bicara topik dan isu yang keras, sayangi otak dan jiwa yang juga butuh senyum dan tawa lepas. Ceritakanlah kenangan atau pengalaman yang membekas, atau harap yang tak terbatas. Cita dan impian perlu dirancang, setidaknya untuk menambah semangat melakoni kehidupan–kendati kemudian tak sama dengan realitas. Alangkah lelah membicarakan hal-hal yang tak terjangkau diri, sementara ada banyak kewajiban yang butuh enerji.

Kisahkanlah desa atau kotamu, atau pengalaman lucu. Tulislah dengan semangat berbagi cerita, niscaya pembaca menemukan yang berharga, kendati tak diucapkan secara terbuka. Tulislah cerita dan puisi, potretlah panorama dan suasana di suatu kampung atau sudut kota. Tampilkan dengan narasi bertutur. Alangkah menarik bagi yang berpikiran luas.

Berceritalah, memotretlah, atau bagikan resep-resep masakan, cara menanam dan merawat tanaman, atau tips supaya awet muda.

Bernyanyilah bagi yang suka, bercandalah untuk membuat pembaca tertawa.


Fiksimini tentang tiga pekerja seni diatas ditambah tulisan singkat Suhunan tadi mengajak kita untuk kembali ke prinsip dasar komunikasi, yakni: Apa yang sampai ke penikmat (baca: pembaca, pendengar) itulah yang penting.

Bukan soal seberapa banyak terminologi yang dimiliki seorang pembicara, tetapi apakah pendengar memahami apa yang dibicarakan. Bukan soal seberapa rumit penjelasan yang disampaikan penulis, tetapi apakah pembaca mengerti gagasannya. Bukan soal seberapa tinggi ilmu dan musikalitas si pencipta lagu, tetapi apakah lagu tersebut benar-benar mengena di telinga penikmatnya. Itulah yang penting.

Kunci untuk membuat sebuah karya mengena dengan penikmatnya adalah sentuhan emosional atau afeksi. Meminjam lirik lagu Ari Lasso, “sentuhlah dia tepat di hatinya“, sentuhlah penikmat karyamu dengan sesuatu yang bisa mereka rasakan. Sesuatu yang dekat dengan kehidupan, mimpi dan kesedihan mereka. Bahasa kerennya: sesuatu yang relevan dan relatable.

Jika pembaca membaca tulisanmu lalu menggumam dalam hati, “ini kok persis kayak yang aku alami ya”, itulah sukses. Jika seorang netizen mengunjungi lagu yang baru kau rilis di kanal Youtube-mu lalu memberi komentar “Sedih banget lagunya, Min, kayak kisahku”, itulah sukses.

Tampaknya inilah yang perlahan semakin disadari teman Saya, seorang pemusik dari Sumatera Utara yang merantau ke Jogja. Rimanda Sinaga namanya. Baru-baru ini kami ngobrol.  Di akhir percakapan kami yang berjam-jam itu, dia bilang: Lagu yang bagus itu lagu yang sederhana. Sebuah lagu yang begitu didengar, para penyanyi trio di lapo tuak bisa serta-merta mengambil gitar dan menyanyikan suara 1, 2 dan 3. Sebuah lagu yang begitu selesai didengar di HP, orang bisa membuat versi Karaoke-nya sambil mengguyur tubuh atau berkumur-kumur di kamar mandi.

That’s it. Luxury is in simplicity. Kemewahan yang sebenarnya terletak pada kesederhanaan.

Oh iya. Ada lagunya yang menurutku cukup bagus. Latarnya sangat personal karena diangkat dari kisah pribadinya sendiri, yakni momen ketika ditinggal oleh ayah tercinta. Beberapa orang merasa relevant dan relate pula dengan lagu itu. Bahkan ada yang menyanyikannya di acara keluarga. Barangkali lirik hasil kolaborasi Rimanda Sinaga dan Subandri Simbolon menyentuh mereka.

Sedikit catatan kritis: Dalam taksonomi ende Batak Toba, liriknya masuk ke kategori ende andung (lagu ratapan). Jika hendak diletakkan sejajar dengan andung Batak lainnya, lagu ini butuh penyederhanaan di bagian tertentu, dan polesan di bagian lain.

Judul lagu itu “Posma Roham Dainang”. Ini lirik dan video Youtube-nya. Cekidot.


POS MA ROHAM DAINANG

Tingki parro ni bot ni ari

Hundul Dainang, huhut malungun

Mancai borat do di rohana

Dung borhat Damang

tu haroburan i

 

Uli pe sinondang ni bulan

Mambahen roha, sonang humaliang

Alai Dainang sai mardok ni roha

Boha bahenon pasonang roha na i

 

Reff:

Posma roham ale Inong na burju

Nungnga tung sonang sohariburan i

Damang di siamun ni Tuhan i

Sai tagogoi ma lao martangiang

Bereng ma hami angka gellengmon

Na sai tontong manghaholongi ho

Unang be sai tartundu malungun

Naro do angka ari na uli i

 

Nama para kru yang terlibat tercantum di video.

Konon, selain aku, banyak pula yang masih masih menunggu karyanya yang berikutnya setelah dia mengalami pencerahan (enlightenment) ini.

Lirik Lagu “Walls” – Louis Tomlinson

Menjadi seorang musikus, pesepakbola, filantropis di usia sangat muda adalah sesuatu yang prestisius. Tak banyak yang bisa mencapainya. Salah satunya Louis Tomlinson. Maka, tak heran, bersama dengan klip-klip KPop lainnya, wajah dan lagunya menghiasi Instagram Story dari teman-temanku, yang kebanyakan adalah anak SMA.

Oke. Jadi, anak-anak SMA saja mengenal dan mengidolakan pentolan One Direction ini. Itu awal yang membuatku berniat mencari informasi tentang orang ini. Oh iya, sebagai generasi usia tiga puluhan, menurutku salah metode mencari minat siswa SMA yang kuajar adalah mengenali tokoh yang mereka idolakan. Kupikir, konsekuensi logis untuk membangun komunikasi tepat sasaran dengan orang lain tanpa terjebak dalam kecanggungan dan perbedaan informasi akibat kesenjangan generasi (generation gap) yakni dengan mencoba mengenali mereka. Siapa yang mereka dengarkan dan jadikan inspirasi.

Jadi, siapa sih si Louis ini?

Meniti karir di bidang entertainment sebagai seorang aktor, Louis William Tomlinson menjelma menjadi music influencer di negara asalnya Inggris, dan disini, di Indonesia. Penyanyi kelahiran 24 December 1991 dengan nama Louis Troy Austin ini, meski masih sangat muda, telah menorehkan inspirasi melalui pekerjaan dan pencapaiannya. Meski sudah mendapat peran di film If I Had You dan drama BBC Waterloo Road, pemuda dengan ambisi yang jelas bukan medioker ini, tidak puas. Ia hendak mencapai jenjang karir dan public coverage yang lebih luas.. Maka pada 2010, Louis mengikuti audisi British The X Factor. Dia tereliminasi dari daftar penyanyi solo, lalu digabungkan dengan empat kontestan lainnya. Jadilah One Direction.

Ia pun tak terhentikan sejak itu. Ia terus menelurkan album. Lagu-lagunya mendapat pengakuan bergengsi. Tak hanya itu, dia juga memiliki label rekaman sendiri, yakni Triple Strings. (Cek saja Wikipedia untuk info lengkapnya.)

Sepertinya Louis memang beneran punya “faktor X” seperti yang dicari audisi itu. Sesuatu yang unik, yang dimiliki secara berintegritas oleh seorang seniman. Pada platform kompetisi yang menjadi pintu gerbangnya masuk ke industri musik itu pun, Louis menjadi juri di The X Factor edisi XV sekaligus pelatih untuk peserta vokal pria. Dalam konteks sama-sama mantan kontestan, Louis menjadi pelatih juara pertama, karena bocah yang dilatihnya, Dalton Harris, memenangkan pertunjukan itu.

Album terbarunya yang dirilis awal tahun 2020 yang lalu, “Walls” memuat lagu dengan judul yang sama. Aku tak sempat mendengarkan lagunya yang lain dengan seksama. Tapi, kudengar lagu ini, dan aku suka. Pencapaiannya di dunia nyata yang menjadi inspirasi bagi para pendengarnya, tergambar pula dalam lirik lagu ini.

Satu lagi, untukku, di lirik lagu ini Louis jadi terdengar dan mirip dengan penyanyi favoritku Robbie Williams. Terutama Robbie saat menyanyi “Angels”.

Ini dia lirik lengkap “Walls”.

 


Nothing wakes you up like waking up alone
And all that’s left of us is a cupboard full of clothes
The day you walked away and took the higher ground
Was the day that I became the man that I am now

But these high walls, they came up short
Now I stand taller than them all
These high walls never broke my soul, and I
I watched them all come falling down
I watched them all come falling down for you
For you

Nothing makes you hurt like hurtin’ who you love (hurting who you love)
And no amount of words will ever be enough (never be enough)
I looked you in the eyes, saw that I was lost (saw that I was lost)
For every question “why”, you were my “because” (you were my “because”)

But these high walls, they came up short
Now I stand taller than them all
These high walls never broke my soul, and I
I watched them all come falling down
I watched them all come falling down for you
Falling down for you

So this one is a thank you for what you did to me
Why is it that ‘thank you’s’ are so often bittersweet
I just hope I see you one day and you’ll say to me, “Oh, oh”

But these high walls, they came up short
Now I stand taller than them all
These high walls never broke my soul, and I
I watched them all come falling down
I watched them all come falling down for you
Falling down for you

Nothing wakes you up like waking up alone


Sumber:

  1. Wikipedia
  2. Hype Auditor