Kongruensi Kecoa

Kapan terakhir kali kamu merasa dikucilkan dan dituduh “grammar nazi” karena mengomentari kesalahan ketik atau tata bahasa di group chatting? Anehnya lagi, tak ada satupun orang lain yang risih dengan situasi itu, cuma kamu. “Ada yang nggak beres nih”, pikirmu.

Atau merasa aneh sebab berbagai kesalahan ketik atau ejaan dipampang jelas-jelas di depan toko?

Atau berbagai kesalahan cetak lainnya.

Belum lagi kamu lagi enak-enak menikmati hidangan yang terasa lezat di sebuah rumah makan dengan lantai yang kelihatan bersih, tetapi lalu terganggu karena ternyata ada kecoak yang tiba-tiba melintas di bawah meja, entah datang dari mana? Kemudian kamu mulai khawatir bukan saja bahwa karena lantainya tidak benar-benar bersih, tapi standar higiene seperti apa yang diterapkan mereka kok segitu buruk.


Begitulah otak kita bekerja. Awalnya otak menangkap gambar atau teks pada persepsi awal, lalu kemudian mencari data tambahan yang mendukung atau melawan persepsi awal tadi. Maka, begitu ada hasil pengamatan yang inkongruen dengan pengamatan awal, tak soal sekecil atau sepele apapun, ini bisa mengubah keseluruhan persepsi.

Oleh Paul Rulkens, fenomena ini dikenal sebagai Kongruensi Kecoa (the cockroach congruency). Penjelasannya begini. Tidak mungkin ada seekor kecoa saja di suatu tempat. Pasti ada teman-teman, kalau bukan malah gerombolannya ngumpet entah dimana. Lanjutannya: jika kamu memperhatikan satu hal saja salah, kamu akan berfikir bahwa ada hal lain juga yang salah. Inilah sebabnya kasus fraud di sebuah korporasi sangat jarang sekali hanya melibatkan satu individu di perusahaan itu, tetapi biasanya menyangkut sebuah kultur yang penuh penipuan diantara berbagai pelaku.

Karena kita tidak selalu mawas terhadap petanda atau penanda yang inkongruen, selalu baik jika kita mengundang pihak luar untuk secara rutin menyampaikan pandangan mereka terhadap organisasi kita, entah itu instansi negara, tempat kerja, keluarga, sekolah atau sekedar klub sehobi.  Mengapa demikian? Karena untuk melihat “kecoa”-nya, kerap kita membutuhkan sudut pandang dan pendekatan yang berbeda dengan yang kita lakukan selama ini.

Menurutku, jika era media sosial memang kita maksudkan untuk menambah literasi, kita butuh orang lain untuk menemukan kecoa-kecoa yang selama ini luput dari perhatian kita.

Tentu, masalah belum selesai. Di tengah hiruk-pikuk media massa, situasi bisa sangat berbeda: terlalu banyak media yang tanpa malu menunjukkan kecoa-kecoa mereka. Lalu, media mana yang harus dipercayai?

 

Sudah 17 Tahun, Tetapi Apa-apa Masih Minta ke Orangtua?

Spoiled Broke Dude

Satu alasan besar kenapa kamu belum bisa melakukan apa yang kamu mau itu karena: Kamu masih berada di dalam payroll orangtua. Kamu masih digaji mereka: jajan juga minta mereka, beli motor minta mereka, cicil rumah bayar KPR/DP pun dari mereka. You are just a spoiled-broke dude.

Berikut adalah sebuah panduan mandiri dari founder Damogo untuk terlepas dari payroll orangtua.

Dia sendiri mulai lepas dari payroll orangtua umur 19 tahun. Bener-bener lepas dua tahun setelahnya di umur 21 tahun. Biaya makan, hidup, jajan sampai sekolah tidak minta. Saat ini stabil mempunyai pemasukan sendiri dari beberapa sumber pendapatan. Aktif ada, pasif ada. Baginya, uang menjadi sesuatu yang tidak pernah diajarkan di lingkungan keluarganya sehingga ia harus belajar dari nol. Dari belajar cashflow, saham, aset, liabilitas, sampai investing. And now he loves it. He does pray money. 

Tak berhenti hanya pada diri sendiri, saat ini dia mampu menggaji 12 orang sebagai tim. 6 di Korea, 6 di Indonesia. Not bad right for a 25 year old dude?

Nah, saat ini beliau mau diskusi tentang masalah uang. Topik yang sering dianggap tabu oleh kebanyakan orang Jawa, latar belakang keluarganya. Selanjutnya adalah penuturan beliau (dengan parafrase dari Saya sendiri pada bagian tertentu).

Mengapa Tidak Ingin Kaya

Siapa yang mempunyai pendapat bahwa uang itu sesuatu yang buruk? Atau menjadi kaya itu tidak perlu? Atau fokus: Kaya akherat saja. Gak usah kaya dunia.

Satu pesan buat kamu: Kamu goblok. Sangat goblok. Dan payah.

Uang pada dasarnya kayak pasangan kamu. Kalau kamu ga ada niatan cari, ya ga bakal dapet. They will be jealous and fly away from you.

Berikut beberapa alasan mengapa menjadi kaya sering kamu anggap sebagai sesuatu yang buruk.

Pertama, kamu mencampuradukkan menjadi kaya dan sifat-sifat buruk perilaku terhadap uang: korupsi, menipu, merampok, mencuri sampai berjudi.

Kedua, tidak ada orang kaya di lingkungan keluargamu. Karenanya, boro-boro semangat, niatan pun tidak ada.

Ketiga, kamu berada di lingkungan konservatif yang mau kamu biasa-biasa saja. Tak perlu berkembang.

Keempat, kamu kumpul sama orang-orang miskin tukang mengeluh. Tidak pernah bayar pajak, sedikit-sedikit edgy lansung bikin penggalangan dana.

Merasa tersinggung? Bagus. Teruskan membaca.

Mengapa Harus Lepas dari Payroll Orantua Sedini Mungkin?

Alasannya tidak akan cukup untuk saya taruh di halaman ini, tapi secara ringkas ada 3 alasan besar:

Pertama, It gives you freedom. Memiliki uang dan sanggup membiayai diri sendiri itu beri kamu kebebasan. Suka beli makeup? Monggo. Suka baca komik? Silahkan beli. Suka koleksi motor? Silahkan, bisa beli pake uang sendiri.

Kedua, Teaching you how to manage and behave. Lu akan dites ketika punya uang kuat ga untuk manage. Kalo ga, kemungkinan besar uang yang kamu punya ga akan bertambah.

Ketiga, Stimuli buat kamu. Uang itu stimuli, kalau kamu orang baik dikasih uang akan menjadi an angel. Ketika kamu brengsek dikasih uang ya makin brengsek.

Money is a scoreboard where you can rank how you’re doing against other people (Mark Cuban)

F.U. Money

Dan Lok, seorang corporate Finance Consultant dalam bukunya “F.U. Money” memberikan 6 tips untuk manage uang dan bisa berfikir cerdas tentang uang:

      1. Would you rather be quick or slow? Why neither both.
        Money isn’t equal speed. Ga ada yang namanya peribahasa get rich slow, or get rich quick. You control your own money speed. Daripada milih salah satu antara slow atau quick, highlight on habit. You can’t be a millionaire with $50,000 a year habits.
      2. Be creative on making money. Kalau menjadi kaya itu equal hard-work, kenapa hard-labor people didn’t accumulate those money yet?
        Reason: there are thousand ways to make money, you just need to be creative. Misal: jual barang kamu di rumah yang ga sering terpake, jual subscription atas produk kamu, bagi jasa ke orang lain, dan lain-lain.
      3. Nothing will be totally perfect as you wish. Jump inDon’t wait until everything is just right because it will never be perfect. Daripada berfikir: “think-think-analisa-eksekusi”, (kelamaan!), mending: think-eksekusi-think-eksekusi. Ideas are cheap, execution is extremely expensive.
      4. If your life stinks, it’s your own damn fault. Kalau sekarang, saat ini kamu ga punya uang dikira itu salah perusahaan? Salah orang lain? No. Itu salah kamu. Kenapa nggak nyiapin emergency fund? Kenapa dulu ngeyel ketika diminta investasi? Be financially responsible.
      5. Breath your project or whatever fucks you dreamed of. Dream to be an author? Yaudah, mulai nulis. Dream to do that business? Ya sudah, mulai tulis business plan. If you set a goal now and see a path of how you’re gonna achieve it, by definition the goal is too small. Set a money goal that makes you nervous and excited at the same time.
      6. Choose your F.U. Money friends wiselyThing is when you aim to be rich. People will starts rejecting you. Dari orangtua sampai saudara, mereka akan bilang: “Udah deh ga mungkin” Cara jawabnya: Diem aja. Remember their name and faces well and let them know that one day, one day you will be rich and won’t include them at your banquet party.

Saya sendiri tersinggung membaca tulisan ini. Lalu saya pikir, mungkin ada juga orang lain tersinggung seperti Saya. Jadi, aku post saja.

Sumber: Instagram

 

Pelajaran Penting dari COVID-19

 

Selama hampir satu semester (hingga saat artikel ini Saya tulis), ritme hidup berubah drastis. Di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terutama rumah, tempat kerja dan sekolah kamu. Penyebaran virus Corona ini tidak saja epidemik, tetapi juga pandemi global. Dimana-mana orang diminta (mulai dari dihimbau hingga dipaksa) untuk tetap di rumah dan menjauhi kerumunan untuk mengurangi resiko penularan.

Virus Corona telah membawa sekian banyak hal buruk, penyakit dan kematian, tetapi jika kita mampu menyikapinya dengan lebih arif, kita bisa menemukan beberapa pelajaran penting.

Kerap kamu harus bersedia mengorbankan sebagian kebebasan dan hak personalmu demi kebaikan publik yang lebih besar.

Bagi kebanyakan orang, #TetapDiRumah saja itu susah bukan main. Kita mengeluh bosan, tak bergairah, seperti tanpa tujuan alias gabut. Beberapa orang merasa kesal bahwa karantina kesehatan atau pembatasan sosial ini melanggar hak-hak individual, seperti berkumpul, nongkrong, nge-mall, belanja barang sebanyak uang yang dipunyai dan lain-lain. Baca saja berita tentang ekses dari kekesalan dan ke-ngenyel-an dari orang-orang yang tetap melanggar peraturan dan himbauan dari pemerintah untuk tetap diam di rumah.

Meskipun demikian, demi kebaikan yang lebih besar, kamu dan aku mesti bersedia sedikit berkorban. Keseimbangan antara hak-hak individual dan kemaslahatan umum terus berubah sesuai perkembangan zaman dan situasi dunia. Demi kebaikan publik, berkorbanlah sedikit.

Entah ada virus atau tidak, cuci tangan itu baik.

Kesehatan secara umum itu penting, tidak hanya karena ada virus. Basahi tanganmu, usapkan sabun, kucek-kucek selama kurang-lebih 20 detik. Bilas lalu keringkan dengan menggunakan handuk atau sapu tangan yang bersih. Gunakanlah sabun sebagimana mestinya. Mulai sekarang, jangan lupa: sabun itu efektif membunuh virus.

Beraktifitas dari rumah mestinya bisa menjadi pilihan

Selama pandemi ini, kita terpaksa bekerja atau belajar dari rumah. Begitu virus ini selesai, barangkali kita bisa mengusulkan (atau jika Anda berada pada hirarki atas: mendiskusikan) kemungkinan untuk bekerja atau belajar dari rumah jika dianggap perlu dan penting. Memang tidak semua, tetapi banyak hal yang bisa dilakukan tanpa tatap muka langsung.

Izin tidak hadir karena sakit itu penting

Jika kamu merasa sakit (sakit beneran ya, bukan yang dibuat-buat apalagi dengan surat keterangan buat-buatan itu), tetaplah berada di rumah. Banyak orang merasa bahwa lingkungan kerja atau sekolahnya tidak akan memahami izin tidak hadir karena sakit.  Banyak orang yang ingin tampil seakan-akan dia martir, “Lihatlah, meski aku sakit, aku tetap datang ke tempat kerja”. “Aku, walaupun sakit, tetap kupaksakan hadir di kelas. Kurang apa lagi aku sebagai murid, coba?”

Mentalitas semacam ini harus dihentikan. Jika kamu sakit, tetaplah di rumah. Jika sakitmu tak berangsur pulih, berobatlah segera.

Hak mengakses internet sebaiknya menjadi kebutuhan dasar

Hak untuk mengakses internet (dikenal sebagai  the right to broadband) sebaiknya dipertimbangkan untuk ditetapkan sebagai hak asasi manusia. Terutama di negara berkembang seperti kita, tidak bisanya kita online membuat kita kesulitan untuk mengenal dunia secara global. Ini membentuk dan membatasi kesempatan kita untuk berkembang. (Misalnya, jika kamu tidak memiliki akses interet, tentu kamu tidak akan membaca tulisan ini). Sebagai tambahan, selama masa seperti ini, menghubungi keluarga, teman dan rekan kerja itu penting. Sejauh ini, internet adalah cara dan alat yang dapat kita andalkan secara maksimal.

Tenaga kesehatan dan para peneliti layak mendapat apresiasi yang lebih baik

Ketika kita berada dalam situasi yang sangat mencekam ini, para tenaga medis dan peneliti (researchers)-lah yang akan membantu kita melewatinya. Mereka bekerja siang malam untuk menemukan metode penyembuhan dan pemulihan atas seluruh umat manusia di dunia ini. Saat kita bergunjing ria tentang teori konspirasi elite wewe gombel atau heboh dengan berita berisi distrust terhadap aturan dan pola komunikasi pemerintah, ratusan saintis bekerja keras mencari cara untuk membasmi virus ini. Seperti halnya kita fanatik dengan atlit, aktor/aktris, pemuka agama, politisi, influencer, seniman, Youtuber atau Selebgram, saatnya kita mengevaluasi kembali apakah apresiasi yang kita berikan terhadap para tenaga medis dan saintis selama ini sudah layak. Kemungkinan terbaiknya: mereka layak mendapatkan apresiasi yang lebih dari yang selama ini mereka dapatkan. Jika itu masih absurd, maksudnya ialah, mereka pantas mendapatkan upah yang lebih besar.

Sayangnya, banyak tenaga medis yang kesal karena praktek di lapangan menunjukkan banyaknya pelanggaran terhadap protokol kesehatan, tentu dengan sebab yang beragam. Sampai muncul kekecewaan sebagian orang: “Indonesia terserah“. Tenaga ilmuwan Indonesia pun merasa kecewa karena tak cukup dilibatkan untuk menangani virus Corona ini.

Memasak itu penting

#TetapDiRumah telah memaksa banyak orang untuk belajar, mengulang kembali, atau menyalakan lagi semangat untuk memasak. Belajar memasak adalah salah satu keahlian yang sangat penting untuk dimiliki seseorang.Memasak berarti kamu bergantung pada dirimu sendiri. Tak selamanya kamu punya uang yang cukup untuk memesan makanan dari luar. Jikapun uangmu cukup, tak selalu kurir bisa dan mau mengantarkannya untukmu. Lihatlah betapa meriahnya kemewahan yang dibagikan orang lewat media sosial akhir-akhir ini: semua mengepos masakan mereka yang lezat. Mereka menemukan kembali kejaiban dari aktifitas makan-memakan ini. Termasuk mengetahui persis apa saja bahan yang terkandung pada makananmu lalu merasakan sebuah sensasi reward ketika akhirnya kamu bisa memasak makanan untukmu sendiri dan keluarga.

Menyapa teman setiap hari

Tetap di rumah dan tidak bisa keluar menyadarkan kita bahwa cara terbaik untuk mengatasi kebosanan dan mengusir kesepian adalah dengan menyapa teman dann keluarga, lewat chatting atau panggilan video. Jika sebelumnya percakapanmu hanya basa-basi, ini saat yang tepat untuk berbicara secara lebih medalam. Selama masa krusial seperti ini, koneksi yang manusiawi antarmanusia adalah kunci. Telefonlah!

Begitu virus ini selesai, hargailah pentingnya janji ketemu yang sudah kamu buat dengan teman atau keluarga. Jangan lagi ada kisah rencana bukber yang tak kunjung jadi hingga lebaran usai. Jangan lagi ngeles “OTW” ketika teman-temanmu sudah menunggu, padahal kamu baru saja beranjak dari rebahan di kasur menuju kamar mandi.

Menghargai alam

Ketika kamu keluar rumah tapi tetap menjauhi kerumunan, kemungkinan besar kamu rute yang kamu tempuh ialah padang yang luas, kebun atau hutan dekat kota tinggalmu. Sembari berjalan menyusuri area yang mungkin saja sudah pernah kamu jalani, kali ini kamu mengamati secara lebih seksama. Kamu mulai menemukan keindahan alam. Tentu saja, tetap hindari menyentuh wajahmu. Kamu tidak pernah tahu ada jejak carrier Corona sebelumnya disana.

Menikmati kesendirian

Meski kedengarannya mudah, ternyata bagi kebanyakan kita berdiam diri dan tetap tenang itu luar biasa susahnya. Terutama bagi kaum ekstrovert (baik yang mengaku ekstrovert maupun mengaku introvert), sendiri itu melelahkan dan kesepian. Itu sebabnya social distancing (pembatasan sosial) menjadi tantangan tersendiri. Ini momen yang tepat untuk lebih kenal dekat dengan diri sendiri. Kamu bisa belajar untuk menyibukkan diri. Karena sekedar menonton serial film secara maraton atau bermain game seharian tidak lagi cukup, kamu dituntut untuk melakukan hal lain. Terimalah. Tubuh dan pikiranmu sekarang berada di rumah dan kamu harus belajar menikmati dan mencintai situasi itu.

Mulailah menulis kembali. Belajar lagi meditasi. Ulang kembali tarian Salsa yang dulu sempat kau gemari tapi tak tuntas. Ulik lagi lagu-lagu yang sejak dulu kamu penasaran bagaimana cara memainkannya. Atau, cintai tubuhmu dengan menyediakan waktu tidur yang cukup sebagai ganti dari masa begadangmu dulu.

Itulah beberapa pelajaran penting secara umum yang bisa kita ambil dari pandemi global COVID-19 ini. Mana pelajaran yang pas buatmu?


Sumber:

  1. Gulfnews
  2. Twitter Bening28

Keseringan “Caper”, Kamu jadi Tidak Kreatif

Senang Rasanya Diperhatikan

Terima kasih atas perhatianmu. Tidak ada yang menandingi bagaimana rasanya berada ada di sebuah ruangan dengan semua audiens memerhatikanku. Diperhatikan oleh banyak orang, ini sesuatu banget. Sebagai seorang aktor,  aku mengalami dan memahaminya.

Aku tahu rasanya diperhatikan. Aku beruntung mendapat perhatian lebih dari yang seharusnya. Tapi ada perasaan kuat lainnya yang untungnya sering kualami sebagai seorang aktor. Lucunya, ini bertolak belakang karena datangnya bukan dari mendapat perhatian. Tapi dari memberi perhatian. Kok bisa? Begini ceritanya.

Ketika  berakting, aku begitu fokus. Aku  hanya memerhatikan satu hal. Ketika berada di lokasi dan akan mulai syuting dan asisten sutradara bilang, “Rolling!” Lalu aku mendengar “speed“, “marker“, “set“, kemudian sutradara berseru, “Action!” Aku telah mendengarnya berkali-kali. Seperti mantra sihir Pavlovian. “Rolling,” “speed,” “marker,” “set,” dan “action”, (dan akhirnya sebuah karya film tercipta). Sesuatu terjadi padaku, sesuatu yang tak bisa kutahan. Perhatianku menyempit. Dan segalanya di dunia, yang mengganggu atau mencuri perhatianku, semuanya hilang. Hanya ada aku di situ. Aku cinta dengan rasa ini. Bagiku, inilah kreativitas, dan inilah alasan terbesar kenapa aku bersyukur menadi aktor.

Jadi, ada dua perasaan yang sangat kuat. Diperhatikan dan memerhatikan.

Jual Beli Perhatian di Era Media Sosial

Dalam beberapa dekade terakhir, perkembangan baru teknologi baru telah membuat lebih banyak orang merasa istimewa karena mendapat perhatian. Perhatian itu didapat sebagai imbalan atas berbagai ekspresi kreatif, tidak hanya akting. Bisa berupa tulisan, fotografi, menggambar, musik, atau sekedar mengikuti musik yang ada dan berlenggak-lenggok a.k.a menari gila di TikTok. Semuanya. Dari sini, kita belajar satu hal: Saluran distribusi sudah didemokratisasi, dan ini adalah hal yang baik.

Tapi aku merasa ada konsekuensi yang tidak diinginkan bagi siapa pun dengan dorongan kreatif, termasuk aku sendiri, karena aku tidak kebal darinya. Aku merasa kreativitas kita telah menjadi lebih ke usaha untuk mendapatkan sesuatu yang lain, yakni demi mendapatkan atensi atau perhatian. Kita mengemis perhatian.

Karena itulah, aku merasa terdorong untuk membahas ini. Dalam pengalamanku, ternyata semakin aku serius memberi (bukan menerima) perhatian, aku semakin bahagia. Tapi semakin aku larut dalam perasaan ingin diperhatikan, semakin aku tidak bahagia.

Dulu sekali, aku memanfaatkan karir aktingku untuk mendapat perhatian. Saat itu aku berusia delapan tahun. Ada perkemahan musim panas. Aku sudah mengikuti audisi sekitar satu tahun, dan aku beruntung mendapatkan beberapa peran kecil di acara TV dan iklan, jadi aku sering pamer tentang hal itu di perkemahan. Pertama-tama, berhasil. Anak-anak lain memberikan aku perhatian lebih, karena aku pernah tampil di “Family Ties.” Ini fotonya.

Lalu, situasinya berbalik. Aku rasa aku pamer berlebihan. Benar. Mereka mulai mempermainkanku. Aku ingat ada anak perempuan yang aku suka, Rocky. Namanya Rachel, tapi dia dipanggil Rocky. Dia cantik dan bisa bernyanyi. Aku tertarik padanya, dan aku berdiri di sana, membual. Dia berbalik dan memanggil aku tukang pamer. Yang 100% pantas akudapatkan. Tapi rasanya tetap menyakitkan. Dan, sejak musim panas itu, aku merasa ragu untuk mencari perhatian lewat akting.

Kadang, ada yang bertanya, “Jika kau tak suka perhatian, kenapa jadi aktor?” “Karena akting bukan tentang itu, tapi tentang seni.” Mereka pun menjawab, “OK, OK, kawan.” Aku tahu mereka tidak benar-benar memahami apa yang kukatakan.

Lalu Twitter muncul.

Akupun ketagihan seperti yang lainnya, yang membuat aku jadi seorang munafik. Karena saat itu, aku sepenuhnya memakai akting untuk mendapat perhatian. Apakah aku mendapatkan banyak follower (pengikut) karena cuitanku yang cemerlang? Jujur, aku sempat merasa begitu. Mereka suka bukan hanya aku ada di ‘Batman’, mereka suka yang aku katakan, aku mahir berkata-kata. Benarkah begitu?

Tak lama, hal ini mulai memengaruhi proses kreativitasku. Sampai sekarang masih. Aku usahakan tidak. Tapi yang terjadi, saat aku duduk membaca naskah, alih-alih berpikir, “bagaimana aku mengidentifikasi karakter ini”?, atau “bbagaimana penonton bisa merasa terhubung dengan ceritanya”?, aku malah berpikir, “apa kata orang tentang film ini di Twitter? Jawaban apa yang bagus dan sarkastik supaya dapat banyak retweet, tapi tak kelewatan?” Orang lebih suka dicerca daripada diacuhkan.  Ini adalah hal-hal yang aku pikirkan ketika ketika aku seharusnya mendalami naskah, sesuatu yang semestinya dikerjakan oleh seorang aktor. Well, itulah yang terjadi.

Aku tidak mengatakan bahwa teknologi adalah musuh kreativitas. Bukan begitu. Teknologi hanyalah alat. Ia punya potensi mengembangkan kreativitas manusia yang tak ada sebelumnya. Aku bahkan memulai sebuah komunitas online bernama Hit Record. Disitu orang-orang dari seluruh dunia berkolaborasi dalam proyek kreatif. Jadi, media sosial, ponsel atau teknologi apa pun bermasalah.

Itupun, kalau kita mau sekali lagi membahas bahaya kreativitas yang menjadi alat mengemis perhatian, tentu kita harus bicara tentang pola bisnis perusahaan media sosial yang digerakkan oleh perhatian (atensi).

Para Pengemis Perhatian di Instagram

Ini mungkin familiar bagi sebagian orang, tapi pertanyaannya relevan, “Bagaimana platform media sosial seperti Instagram menghasilkan uang? Mereka bukan penyedia bisnis berbagi foto. Layanan itu gratis. Lalu apa? Mereka menjual atensi. Mereka menjual atensi para (user) pengguna ke pemasang iklan. Ada banyak perbincangan sekarang tentang seberapa besar atensi yang diberikan ke media sosial semacam Instagram, tapi pertanyaannya: “Bagaimana Instagram mendapatkan begitu banyak atensi? Kita yang mendapatkannya untuk mereka. Iya, Instagram memakai atau “memperkerjakan” kita untuk itu.

Ketika seseorang mengunggah di Instagram, mereka mendapat sejumlah atensi dari pengikutnya, entah mereka hanya punya sedikit atau jutaan pengikut. Semakin banyak atensi yang didapat, makin besar atensi yang Instagram jual. Jadi Instagram berkepentingan agar kamu mendapat atensi sebesar mungkin. Mereka melatihmu supaya menginginkan atensi itu, mendambakannya, dan merasa frustasi saat tak cukup mendapatkannya. Instagram membuat para penggunanya ketagihan atensi. Kita semua bergurau, “Ya Tuhan, aku kecanduan ponsel,” tapi ini adalah kecanduan yang nyata.

Mengemis Perhatian Semata akan Membuatmu Tidak Kreatif

Kecanduan mendapat atensi sama saja dengan kecanduan hal lain. Rasanya tak pernah cukup. Kamu memulai dan berpikir, “Jika saja aku punya 1.000 pengikut, pasti rasanya luar biasa.” Tapi kemudian kamu akan berpikir, “Begitu aku dapat 10.000 pengikut,” “Begitu aku dapat 100 — Begitu aku dapat sejuta pengikut, baru rasanya luar biasa.” Aku punya 4,2 juta pengikut di Twitter — tak pernah aku merasa luar biasa.

Aku tak akan beri tahu jumlah followerku di Instagram karena aku malu akan betapa rendah angkanya, karena aku bergabung di Instagram setelah “Batman” dirilis. Aku melirik akun aktor lain. Angka mereka lebih tinggi dariku, dan ini membuatku merasa rendah.

Jumlah pengikut membuat siapa saja merasa buruk akan dirinya sendiri. Perasaan kekurangan itu yang memicumu untuk mengunggah dan mengunggah lagi agar bisa mendapat lebih banyak atensi, dan itu yang mereka jual, itu cara mereka menghasilkan uang. Jadi, tidak ada jumlah atensi yang kamu dapat, di mana kamu akan merasa sudah berhasil, lalu berkata “ini sudah cukup”. Tentu saja, ada banyak aktor yang lebih terkenal daripada saya, punya pengikut lebih banyak, tapi mereka akan mengatakan hal yang sama. Jika kreativitasmu dipicu oleh hasrat untuk mendapatkan atensi, maka kau tak akan pernah merasa terpenuhi secara kreatif.

Tapi aku punya kabar baik untukmu.

Ada perasaan kuat lainnya, yang masih berkaitan dengan atensimu selain membiarkannya dikendalikan dan dijual oleh perusahaan atau pemilik modal Media Sosial yang kamu gandrungi itu. Inilah perasaan yang aku bicarakan tadi, kenapa aku mencintai akting: karena akubisa fokus pada satu hal. Ternyata, ada ilmu juga di baliknya. Psikolog dan ahli saraf — mempelajari fenomena yang mereka sebut “flow“, yaitu sesuatu yang terjadi dalam otak manusia ketika seseorang hanya berfokus pada satu hal, seperti sesuatu yang kreatif, dan tidak terganggu oleh hal lain. Ada yang bilang, semakin sering kamu melakukannya, kamu akan semakin bahagia. Ini tak selalu mudah, bahkan sulit. Memerhatikan seperti ini butuh latihan. Masing-masing orang punya cara sendiri.

Satu hal yang bisa aku bagikan, yang membantuku untuk fokus dan benar-benar memerhatikan adalah ini: Aku berusaha tidak melihat pelaku kreatif lainnya sebagai saingan. Aku mencoba mencari kolaborator. Misalnya aku berakting di sebuah adegan, jika aku melihat aktor lain sebagai saingan dan berpikir, “Mereka akan lebih diperhatikan daripada saya, orang-orang akan membicarakan performa mereka daripada saya” – Aku sudah kehilangan fokus. Dan aku mungkin akan payah di adegan itu. Tapi ketika aku melihat aktor lain sebagai kolaborator, maka akan jadi mudah untuk fokus, karena aku hanya memerhatikan mereka. Aku tak berpikir apa yang aku lakukan. Hanya bereaksi ke mereka, mereka bereaksi ke aku, dan dengan demikian kami menjadi sebuah tim.

Jangan berpikir hanya aktor yang bisa bekerja sama seperti ini. Ini terjadi pada berbagai situasi kreatif. Baik profesional, atau sekedar senang-senang, seperti yang dilakukan oleh pengguna TikTok misalnya. Kita bisa membuat kraya bersama orang-orang yang belum pernah kita temui. Bagiku, inilah keindahan internet. Jika kita bisa berhenti bersaing demi atensi, maka internet akan jadi tempat yang hebat untuk mencari kolaborator. Dan ketika aku berkolaborasi dengan orang lain, baik di lokasi syuting, online, di mana pun, akan jadi lebih mudah bagi aku untuk mencari ‘flow’ itu, karena kita semua hanya memerhatikan satu hal yang kita ciptakan bersama. Kita, aku dan kamu, merasa sebagai bagian dari sesuatu yang lebih besar, dan kita saling melindungi satu sama lain dari hal-hal yang bisa mencuri perhatian kami.

Tentu, tak selalu berhasil. Kadang, aku masih kecanduan hasrat mendapatkan atensi. Tetap ada bagian yang seperti itu. Tapi jujur, aku juga bisa bilang keseluruhan proses kreatif menulis dan membawakan topik ini telah menjadi kesempatan besar bagiku untuk fokus dan memberi atensi pada sesuatu yang sangat berarti bagi saya. Jadi, terlepas dari seberapa besar atensi yang kudapatkan sebagai hasilnya, aku bahagia sudah melakukannya. Aku berterima kasih pada kamu yang sudah memberikan kesempatan. Jadi, terima kasih. Itu saja.

Sekarang, giliranmu memberi perhatian pada orang lain.

Terima kasih.


Tulisan ini adalah interpretasi pribadi Saya terhadap sesi bicara Joseph Gordonn Levitt di TedTalk.

Belajar Menjiwai Peran dari Ahlinya: David Wenham

David Wenham

Aku pernah menjadi pengacara, pernah pula menjadi penjahat.

Ketika menjadi pengacara, Aku mewakili sejumlah penjahat terkenal. Ketika menjadi penjahat, Aku berhasil mengamankan pundi-pundi uang sebanyak USD 2,000 (lebih dari 310 juta jika dirupiahkan). Lalu rumahtanggaku berantakan, pernikahanku hancur. Aku dipenjara karena ketahuan berbisnis pengiriman obat-obatan terlarang.

Dulu Aku seorang imam (pastor) dan sebelum menjadi pastor, Aku sempat menjadi tentara. Tepatnya, Aku pernah menjadi sepuluh tentara dengan identitas berbeda. Aku pernah menjadi polisi, waktu itu kepalaku botak. Aku bahkan pernah menjadi Tuhan (tentu saja, cuma sekali)

Aku menikah puluhan kali, rekor yang sepertinya lebih banyak dari Elizabeth Taylor. Aku menjadi ayah dari banyak anak-anak yang bahkan tak kuingat namanya saking banyaknya.

Perkenalkan. Namaku David. Dan Aku adalah seorang aktor.


Apa itu akting?

Mengapa aku berakting?

Apa tujuannya?

Mengapa orang mau menghabiskan hampir seluruh waktu hidupnya hanya untuk menjadi seseorang yang bukan dirinya?

Sejak kecil, aku memang suka membuat orang tertawa. Entah dengan cara apapun, dan dalam situasi apapun. Kadang dengan suara yang menggelikan. Atau sekedar menaikkan celana pendek hingga ke atas pinggang, melewati pusarku. Pokoknya, teknik melucu sederhana yang membuat orang terkekeh-kekeh.

Seiring dengan berjalannya waktu, dari yang awalnya hanya sekedar suka membuat orang tertawa, aku merasakan dorongan yang lain untuk melakukan sesuatu yang lebih besar.

Sekarang, mari kita bahas apa pengertian dari akting? Definisi terbaik kudapat dari Sanford Meisner, guru akting-ku. Katanya: Berakting adalah berlaku dan bertindak sungguh-sungguh dalam situasi imajiner (khayal). Behaving truthfully in an imaginary situation.

Hingga tiba di suatu titik, Aku menyadari bahwa motivasiku menjadi seorang aktor tidak hanya sekedar keinginan untuk membuat orang lain tertawa. Waktu itu ada pertunjukan seni di sekolah. Lakon yang kami bawakan yaitu Henry IV bagian I karya Shakespeare. Saat casting, Aku mendapat peran sebagai Hotspur, seorang pemimpin yang gagah berani, keras kepala dan mudah marah. Saat itu menjelang sesi latihan yang panjang dimulai, Aku menemukan sebuah sudut sepi di belakang panggung teater kami, persis di samping sebuah pohon oak. Lalu aku mulai mengayunkan pedang kayu (yang digunakan sebagai properti latihan) dengan penuh amarah ke batang pohon oak yang tak berdosa. Aku ayunkan berkali-kali hingga nafasku tersengal, hampir tersedak karena kecapaian. Sembari mengayunkan pedang kayuku berkali-kali, Aku membayangkan (memvisualisasikan) secara akurat seperti apa karakter yang akan aku perankan. Latihan yang benar-benar kulakukan seperti layaknya aku sedang berada di sebuah pertempuran berdarah-darah.

Benarlah. Ketika tiba saatnya memasuki pintu teater sebagai Hotspur, Aku berada pada kesadaran sepenuhnya untuk mampu mengingat semua ketakutan yang harus bisa kutunjukkan kepada semua orang, persis yang dilakukan oleh Hotspur. Aku tidak meniru Hotspur seperti pada naskah. Aku benar-benar menjadi Hotspur dalam sebuah situasi dan lokasi imajiner, yaitu gedung kuliah teater yang berhadapan dengan King’s Court di London. Sudah 12 tahun Aku tidak lagi pergi ke sekolah teater itu dan tidak lagi memikirkan apa yang terjadi saat itu, tapi aku melakukannya secara instingtif.

Saat ini ada banyak variasi teknik ini diajarkan dan dilatihkan ke banyak orang.

Setelah Aku lulus dari sekolah akting itu, Aku mendapat peran pada lakon karya Dennis Potter yang berjudul Blue Remembered Hills. Filmnya berkisah tentang sekelompok anak usia tujuh tahunan yang bercengkerama di sebuah hutan di belahan utara Inggris. Seluruh bocah itu diperankan oleh aktor dewasa. Setiap kali menjelang sesi latihan, Aku akan pergi ke dinding bata yang kasar dekat gedung teater, menghunjamkan siku dan lututku ke tembok itu. Hasilnya adalah lutut yang luka dan lengan tergores yang lama-lama membentuk borok. Ketika malam tiba, pada jarak yang sangat dekat dengan penonton, sebagai Willy (peran yang akan kumainkan), Aku menggosoknya dengan serpihan tanah berlumpur. Darah bercucuran dari lutut dan sikuku. Pada momen ini, yang sedang terjadi ialah: aku menggunakan teknik eksternal yang membantuku mendapat olah sukma (rasa) dari seorang anak berusia tujuh tahun dan benar-benar menjadi peran itu.

Itulah metode yang kulakukan. Tentu saja ada banyak teori dan metode latihan akting.


Lakon itu Kisah. Aktor Menceritakannya

Tetapi, mengapa Aku melakukan semua itu? Apa tujuannya?

Sepanjang sejarah, para aktor sebenarnya adalah pencerita/pendongeng (storyteller). Melalui cerita atau kisah, kita berbagi keprihatinan, mimpi, luka, dukacita, penderitaan, kegembiraan. Kisah bersifat universal. Kisah atau cerita membantu kita memahami diri sendiri dengan lebih baik. Bercerita membantu kita menemukan kesamaan dan kemiripan kita dengan orang lain di seluruh belahan dunia ini. Aku merasa beruntung bisa terlibat menceritakan kisah tentang orang sungguhan di dunia nyata. Beberapa kisah yang dituturkan itu  bahkan mendapatkan apresiasi yang luar biasa, kerap dalam waktu yang cukup lama sejak kisahnya diperdengarkan. Ada yang menyembuhkan. Ada yang menginspirasi. Contoh yang sangat jelas yang bisa Aku ceritakan saat ini adalah dampak dari film – yang tak banyak diketahui orang – yakni film “Molokai” (Molokai: The Story Of Father Demien), sebuah kisah imam asal Belgia yang dengan sukarela tinggal bersama orang-orang kusta yang sengaja dikucilkan di sebuah pulau terpencil bernama Molokai. Aku berperan sebagai Father Damien.

Ketika Hawaii diserang wabah lepra pada sekitar tahun 1874, pemerintah Hawaii yang saat itu belum menjadi negara bagian Amerika Serikat memutuskan untuk mengisolasi penduduk yang terkena wabah tersebut ke sebuah pulau bernama Molokai.

Pihak Gereja Katolik di Honolulu kemudian meminta beberapa imam sukarelawan untuk membantu para penderita kusta yang terkesan ditinggalkan pemerintah di pulau tersebut. Father Demian (David Wenham) merupakan imam pertama yang mengajukan diri untuk menjadi sukarelawan. Dibelakangnya ada lagi tiga orang imam. Gereja memutuskan: Father Demian yang berangkat ke pulau tersebut. Ia pun berangkat. Disana ia bertugas di sebuah daerah bernama Kalaupapa di pulau Molokai. Ketika ia tiba, ia disambut oleh pengawas pulau bernama Rudolph Meyer (Kris Kristofferson) yang menganjurkannya untuk menghisap rokok guna mengurangi bau tidak sedap saat berinteraksi dengan penduduk, yakni para penderita kusta itu.

Di Kalaupapa Father Demian melihat kehidupan para penderita kusta yang putus asa serta kemorosotan moral yang diakibatkan depresi. Father Demian lalu mulai membersihkan kembali Gereja yang sudah lama tidak terpakai kemudian menanam beberapa pohon untuk melindungi perkampungan tersebut dari badai. Pada interaksinya dengan penduduk dia mulai akrab dengan Bishop (Ryan Rumbaugh) anak kecil penderita kusta yang menawarkan diri menjadi anak altar, William (Peter O’Toole) penderita kusta tua yang bersimpati terhadap misi Father Demian, serta Malulani (Keanu Kapuni-Szasz) gadis belia yang mulai terjangkiti kusta.

Father Demian juga berupaya meminta bantuan obat obatan dan pakaian kepada pemerintah setempat namun sayangnya pihak pemerintah terkesan mengabaikan permintaan tersebut, bahkan pihak gereja terkesan hati hati dalam menilai misi Father Demian meskipun pemimpin gereja Honolulu Father Leonor (Derek Jacobi) tetap menyemangati Father Demian.

Tanpa sadar setelah beberapa tahun melayani penduduk Kalaupapa, virus penyakit lepra pun menjangkiti Father Demian. Namun justru hal itu membuatnya semakin giat dan bersemangat untuk meningkatkan fasilitas bagi penduduk Kalaupapa. Ia akhirnya berhasil membuat pemerintah Hawaii mulai memperhatikan kondisi penduduk di pulau Molokai.

Father Demian akhirnya harus menyerah saat penyakit lepra semakin menggerogoti tubuhnya, ia pun wafat setelah 15 tahun tinggal bersama penduduk yang diisolasi karena penyakit kusta di pulau Molokai. End of the story.


Katharsis

Pengambilan gambar (syuting) untuk film Molokasi langsung dilakukan di lokasi yang sama pada tahun 1999. Saat itu pemerintah telah lama menghentikan pengiriman penderita kusta kesana. Akan tetapi, disana masih ada 55 orang penderita sakit kusta. Bersama film director Paul Cox, Aku tinggal di komunitas itu selama lima bulan. Selama periode itu, penggunaan kamera untuk pengambilan gambar dilarang. Pelan-pelan Paul mendapat simpati dan mereka mulai percaya. Satu persatu mereka datang menghampiri Paul dengan sukarela untuk turut diambil gambarnya. Mereka ingin supaya masyarakat luas mengetahui persis apa yang telah penyakit kusta lakukan terhadap tubuh dan wajah mereka.

Setahun setelah periode syuting itu selesai, Aku dan Paul kembali lagi kesana untuk mengajak mereka menonton film tersebut. Berhubung di tempat itu tidak ada tempat untuk menonton film, maka kami diaturlah supaya satu persatu penderita kusta itu diangkut menggunakan pesawat terbang berukuran mini ke daerah yang lebih ke puncak. Penerbangannya hanya 8-10 menit. Begitu mereka semua mendarat, sebagian dipopong, sebagian lagi dibantu dengan segala macam cara, akhirnya mereka tiba di aula setempat. Disana dibuatlah layar untuk menonton.

Begitu film mulai diputarkan, mereka, para penderita kusta ini – yang sebelumnya tak pernah melihat wajah mereka muncul di tayangan film bahkan sebuah foto pun tidak – mulai menangis tersedu. Mereka sadar, saat itu, bukan hanya kisah mereka saja yang sedang ditunjukkan ke seluruh dunia, tetapi juga kisah dari generasi sebelum mereka. Mereka sedih melihat tayangan itu, tapi lalu merasa bangga dan bahagia karena telah terlibat dalam sebuah kisah mahapenting: sejarah mereka dan budaya mereka.

Sebagai bagian dari mereka, Aku merasa tersanjung bisa ikut menuturkan kisah mereka, bersama mereka.

Itulah sebabnya Aku menjadi seorang aktor.

Kisah/cerita bisa mengubah kita.

Kisah bisa mengubah sudut pandang kita.

Kisah bisa mengubah pendapat, mood, dan pola pikir kita.

Storytelling alias menuturkan kisah benar-benar sebuah pengalaman katharsis.

Aku adalah seorang aktor. Mengapa? Karena Aku senang menceritakan kisah. Kisah yang menjaga kita tetap manusiawi.

Terima kasih.


©® Tulisan ini sebagian besar berasal dari transliterasi mandiri dari sesi bicara David Weinham di Ted Talk.

 

Latihan Dasar Bermain Teater dan Drama

Long-life education = Long life repetition

Repetitio est mater scientiarum (Pengulangan/latihan adalah induk/awal dari semua pengetahuan). Pepatah Latin ini berlaku sepanjang masa. Ingat ya: Pengulangan alias repetisi.

Kamu senang belajar Bahasa Inggris dan ingin cepat menguasai vocabulary drill? Ya catat kosakata yang ingin dikuasai, ucapkan, rekam yang kamu ucapkan lalu kamu dengar kembali bunyi dari pronounciation yang kamu hasilkan. Tanpa itu, sebanyak apapun kosakata yang disimpan dalam kepala, tidak akan menghasilkan apa-apa. Kemampuanmu berbahasa Inggris akan begitu-begitu saja. Karenanya, ucapkan dan ucapkan lagi. Sebab fitrah dari bahasa adalah untuk digunakan dalam percakapan. Just like every language, English is to speak. Loh, tapi katanya tadi ada cara cepat? Ya itu, cara paling cepat ya berlatih terus-menerus. Tidak ada pilihan lain.

Kamu sedang kesengsem dengan lagu barunya Ardhito, Fiersa Besari atau Willy Hutasoit dan ingin cepat menguasai akor gitarnya supaya kamu bisa menyanyikannya sembari bermain gitar? Ya catat liriknya dan akornya, nyanyikan dan strum gitarmu, rekam yang kamu lakukan lalu kamu dengar kembali bunyi yang kamu hasilkan. Tanpa itu, sesering apapun kamu mendengar lagu kesukaanmu itu, tidak akan menghasilkan apa-apa. Kamu akan tetap menjadi pendengar saja. Karenanya, nyanyikan dan nyanyikan lagi. Mainkan dan mainkan lagi gitarmu. Sebab fitrah dari lagu adalah untuk dinyanyikan. Just like every song, your favourite song is to sing. Loh? Tapi katanya cara cepat. Ya itu, cara paling cepat ya berlatih terus-menerus. Tidak ada pilihan lain.

Begitulah kodrat dari belajar, terutama untuk belajar seni. Dalam versi Inggris, perlunya latihan/repetisi terus menerus ini secara linguistik tampak dalam terjemahan pepatah di awal tadi. Maksudnya?

Practise MAKES perfect. (5 huruf)

Tapi,

Practises MAKE perfect.(4 huruf)

Artinya, kalau kamu latihannya hanya sesekali saja (atau yang lebih parah: hanya berlatih kalau ada mood) maka skill yang kamu punya tidak akan berkembang. Kemampuanmu hanya akan berkembang kalau kamu berlatih terus menerus, evaluasi hasilnya, lalu berlatih lagi. Begitu sampai mendekati sempurna.

Pengantar yang lumayan panjang ya.

Nah, hal yang sama juga berlaku untuk latihan bermain teater atau drama.


Bermain teater atau drama adalah aktifitas fisik yang serius. Kurang lebih sama dengan berolahraga. Ketika kita bermain bola, kita perlu melakukan latihan pemanasan yang benar supaya hasilnya baik dan terhindar dari cedera. Hal yang sama juga berlaku sebelum melakukan pertunjukan atau sebelum masuk ke dalam naskah yang akan dibawakan dalam suatu pertunjukan teater atau drama. (Sebenarnya drama dan teater punya kekhasan masing-masing, tetapi sebagai sama-sama seni peran pola latihannya sama dalam banyak hal).

Ada beberapa teknik latihan dalam teater dan drama yang harus dipahami dan dilakukan. Berikut adalah teknik latihan yang wajib diterapkan.

OLAH NAFAS

Hal yang terpenting dalam suatu pertunjukan teater adalah power dari vokal pemain haruslah kuat. Tenaga yang menghasilkan suara itupun harus kuat. Sumber utama kekuatan suara terdapat pada pernafasan.

Loh? Kita belajar bernafas lagi, gitu? Bukannya sejak bayi kita sudah tau caranya bernafas? Benar. Tetapi teknik pernafasan yang benar dapat memberikan kekuatan suara yang besar dan menghindari kerusakan pada tenggorokan.  Jadi, kita memang harus belajar bernafas lagi.

Ada 3 cara untuk melakukan pernafasan, yaitu pernafasan dada, pernafasan perut, dan pernafasan diafragma.

  1. Pernafasan dada dilakukan dengan memasukkan udara ke paru-paru yang ditandai naiknya bahu dan membusungnya dada.
  2. Pernafasan perut dilakukan dengan memasukkan udara ke perut yang ditandai bertambahnya volume pada bagian perut.
  3. Pernafasan diafragma dilakukan dengan memasukkan udara ke diafragma, diafragma terdapat di antara dada dan perut. Untuk melakukan hal ini dibutuhkan latihan, karena bahu, dada, dan perut tidak boleh bergerak.

Cara yang benar saat melakukan pernafasan untuk teater adalah dengan pernafasan diafragma. Megan Riehl, Dokter Psikologi Klinis dari Michigan Medicine sudah berbaik hati memberikan tutorial praktek pernafasan diafragma lewat video Youtube ini. Ingat, ditonton ya. (Kalau kamu merasa perlu dengan kata-katanya, nyalakan subtitle-nya dalam Bahasa Indonesia)

Pernafasan diafragma dianggap benar apabila pada bagian diafragma menjadi keras. Dengan memasukkan dan mengeluarkan udara dari bagian diafragma, semakin lama bagian ini akan terasa nyeri, maka latihanmu sudah benar. Berhentilah sejenak hingga rasa nyeri hilang. Lakukan beberapa kali hingga kamu mampu menguasai teknik ini dengan benar.

Latihan pernafasan diafragma ini sangat berguna bukan hanya untuk latihan teater dan drama karena metode yang sama juga dilakukan jika kamu ikut extrakurikuler Paduan Suara, bahkan latihan bernyanyi secara umum.

OLAH VOKAL

Setelah kamu benar dalam melakukan olah nafas, barulah kamu dapat melatih vokal. Latihan vokal dilakukan dengan mendorong udara dari diafragma keluar melalui mulut tanpa tertahan pada tenggorokan.

  1. Tahap Pertama, dengan satu tarikan nafas, keluarkan udara tanpa mengeluarkan suara (huruf vokal / konsonan). Usahakan udara yang keluar tidak tertahan pada tenggorokan. Dengan satu nafas kamu dapat mengeluarkan beberapa kali udara dari diafragma. Cara mudahnya, sebutkan huruf A tanpa bersuara berkali-kali dengan satu kali tarikan nafas.
  2. Tahap Kedua, dengan cara yang sama seperti tahap pertama. Yang membedakan adalah kali ini sebutkan huruf vokal (A I U E O) dengan satu tarikan nafas. Lakukan berulang-ulang sampai diafragma terasa nyeri. Jika sudah terasa nyeri, berhentilah sejenak dan atur nafas Anda.
  3. Tahap Ketiga, dengan cara yang sama seperti tahap sebelumnya. Tambahkan huruf konsonan pada latihan Anda. Sebutkan A – Z dengan satu tarikan nafas. Lakukan berulang-ulang sampai diafragma terasa nyeri. Jika sudah terasa nyeri, berhentilah sejenak dan atur nafas Anda.

Teman kita ini dengan sukarela membuat video tutorial yang lebih lengkap. Tonton dan praktekkan.

Ingat! Usahakan pada saat latihan olah nafas kamu sudah melakukannya dengan benar untuk menghindari sakit pada tenggorokanmu.

OLAH SUKMA/RASA

Tahap latihan ini berkesan sangat simpel dan sederhana. Namun inti dari latihan ini saat luas. Olah sukma/rasa dilakukan dengan cara meditasi selama minimal 10 menit. Usahakan pikiranmu tidak kosong, berusahalah tetap fokus. Dengarkan suara-suara di sekitar Anda, dari yang paling dekat hingga yang paling jauh. Buang semua hal-hal negatif pada diri Anda, masukkan hal-hal positif ke dalam diri Anda. Aturlah nafas senyaman mungkin. Usahakan jangan ada gerakan sekecil apapun.

Kamu bisa gunakan musik pengantar meditasi dari Taize, Kitaro dan lain-lain jika dirasa perlu. Atau, kalau kamu mau tetap stay di blog ini, gunakan video Balinese Fingerstyle dari Alif Ba Ta, sang maestro fingerstyle Indonesia ini.

Pada tahap ini dimaksudkan agar kamu dapat fokus pada karakter yang akan kamu mainkan, fokus terhadap suatu hal, peka terhadap sekitar Anda, peka terhadap lawan main Anda.

OLAH PIKIR

Olah pikir dapat dilakukan dengan cara berkumpul bersama pemain yang lain, berbincang santai hingga menyamakan persepsi. Hal ini dilakukan bertujuan untuk menyelaraskan pemikiran seluruh pemain dan tim produksi agar pertunjukan berjalan sesuai dengan keinginan bersama. Dengan menyamakan persepsi, kamu dapat membaca situasi ketika terjadi kesalahan dalam suatu pertunjukan dan dapat membaca sifat dari lawan main Anda. Olah pikir ditujukan agar kamu dapat berkomunikasi dengan lawan mainmu tanpa melakukan dialog atau kontak fisik. (Berhubung blog ini ditulis dalam situasi Learn from Home akibat wabah pandemi COVID-19, maka saat ini tidak dianjurkan untuk berkumpul ramai-ramai. Kamu tetap bisa melakukannya tentu dengan mengindahan kaidah social/physcal distancing dari Pemerintah).

OLAH TUBUH

Tahap olah tubuh dibagi menjadi 2, yaitu:

Mimik, adalah gerak wajah untuk menunjukkan keadaan/sifat dari karakter yang sedang dimainkan, dan agar pesan yang disampaikan dapat diterima penonton dengan mudah. Latihan mimik dilakukan dengan beberapa cara, salah satunya dengan senam wajah. Caranya dengan menarik seluruh bagian wajah ke atas, lalu ke kanan, kemudian ke bawah, ke kiri, ke depan, danb terakhir ke dalam. Hal ini bertujuan agar mimik wajamu menjadi lentur dan dapat dengan mudah menyampaikan pesan dari mimik wajah karakter yang kamu mainkan. (Lihat kembali video latihan Olah Vokal di atas)

Gestur, adalah gerak tubuh untuk menunjukkan keadaan/sifat dari karakter yang sedang dimainkan, dan agar pesan yang disampaikan dapat diterima penonton dengan mudah. Latihan gestur dimulai sejak melakukan pemanasan, kemudian ditambah dengan beberapa gerakan aktifitas yang dilakukan sehari-hari. Latihan ini dapat dimodifikasi sesuai dengan keinginan masing-masing pemain. Sebuah film singkat karya Aldi Kasyifurrahman yang memuat latihan penting tari kontemporer di bawah ini bisa kamu jadikan inspirasi untuk latihan gestur.


Itu tadi 5 tahap latihan dasar teater dan drama yang wajib kamu tahu. Usahakan melakukan seluruh tahap dengan benar agar terhindar dari cidera. Lakukan tahap latihan dengan waktu minimal 1 jam tiap tahap untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

Semoga bermanfaat.

 

Invasi Kultur Korea Hingga ke Bangku Sekolah

Blink …

Whatsapp Saya berbunyi. Seorang Siswa menanggapi sebuah link tulisan di blog ini. Sebelumnya, link yang dimaksud Saya tuliskan di status Whatsapp Saya. Beginilah interaksi kami:

Adapun tulisan yang dikomentarinya adalah tulisan dari kakak kelasnya. Sebuah ulasan tentang penampilan boyband Seventeen yang membawakan lagu Thanks. Dari antara ratusan tulisan kritik seni yang mereka hasilkan (sebagian besar hanya copy paste saja, jadi Saya buang ke tempat sampah),  ulasannya adalah salah satu dari sedikit tulisan yang Saya edit untuk dipublikasikan di blog ini. Saya melihat effort yang menurut Saya luar biasa ia lakukan. Dia tulis begini:

Sebenarnya, memaknai lirik dengan bahasa asing sangatlah sulit, karena kita harus menterjemahkannya terlebih dahulu. Tetapi, jika sudah menyukai KPop dan sudah terbiasa dengan bahasa Korea, akan memudahkan kita untuk mengerti sedikit makna lagu Seventeen ini. Sebagai penggemar mereka, saya rela mencari arti lagu ini, mencari tahu tentang semua yang berkaitan dengan lagu ini. Buktinya, dengan ‘effort” yang Saya lakukan untuk menghasilkan kritik seni ini.

Mengaku sebagai seorang carat (sebutan bagi fandom alias basis masa penggila Seventeen), ia rela melakukan semua itu.

Pada percakapan lainnya (tentu saja lewat chatting, karena saat ini mereka belajar dari rumah akibat pandemi COVID-19), seorang siswa lain menanggapi:

Baru aku tau kalo bapak carat wkwkwk

Dalam sekali tayang, Saya langsung dihadapkan pada dua kenyataan ini: Tiga orang siswi yang Saya ajar, ketiganya adalah penggila korea. Iseng, Saya coba lihat postingan mereka di media sosial. Fix, yang hype bagi mereka adalah apapun yang berbau Korea. Ratusan bahkan ribuan postingan foto dan caption mereka hasilkan setiap minggunya, yang hampir semuanya berkaitan dengan kultur Korea pada umumnya, K-Pop khususnya.

Di tempat lain lagi, seorang teman guru berkisah bahwa istrinya hampir tidak bisa diganggu sedikitpun ketika sang istri menonton Drama Korea dengan seksama. Soalnya, nonton-nya di tablet, dengan kedua earphone menutup telinga.


Saya yakin, melihat fenomen lain di media daring atau pada perjumpaan nyata, ada jutaan lagi remaja terutama anak sekolah yang sedang dilanda Korean Wave ini. Korean Wave atau gelombang Korea adalah istilah yang diberikan untuk tersebarnya budaya Korea pada berbagai negara di dunia. Indonesia termasuk negara yang sedang terkena demam Korea. Hal ini misalnya terlihat di layar televisi Indonesia yang sekarang berlomba-lomba untuk menayangkan informasi dan hiburan yang berhubungan dengan Korea.

Sebenarnya Korean Wave ini bukan hal baru. Korean Wave (Hallyu) sudah dimulai sejak 1999, lalu semakin masif di Indonesia pada 2010-an ini. Lalu semakin menggila akhir-akhir ini. Percakapan Saya dengan tiga Siswa tadi hanya buih pasir di lautan antusiasme siswa dan siswi akan budaya Korea.

Di tempat lain, Nafa Urbach, seorang aktris ternama Indonesia ternyata punya pendapat yang sama. Seperti ditulis Kompas, Nafa Urbach mengungkapkan kegelisahannya. Bedanya, Nafa melihat indikasi penyebabnya.

Beralihnya penonton Indonesia dari sinetron lokal ke drama Korea dianggap artis Nafa Urbach karena kondisi industri sinetron menurun. Nafa juga sempat bertanya kepada warganet di akun Instagram beberapa hari lalu. Warganet memberi jawaban bahwa sudah tidak menyaksikan sinetron asli Indonesia. Mereka lebih menyukai menonton drama Korea.

Jadi ini udah kayak alarm sih kalau aku pikir, alarm buat sineas Indonesia, penulis skenario Indonesia, dan PH-PH di Indonesia yang mengerjakan sinetron stripping. – Nafa Urbach

Alarm itu bahkan dimuat dengan judul dramatis: Kalau semua nonton drakor artis Indonesia tidak kerja nanti. Sepertinya, kekhawatiran ini mewakili para pelaku industri film dan sinetron di Indonesia.


Meski, dunia pendidikan dan dunia industri hiburan jelas sangat kompleks berbeda, tetapi keduanya bersatu menghadapi invasi kultur Korea ini. Pertanyaan yang selanjutnya menyeruak ialah: Seberapa menariknya sih budaya Korea dengan segala K-Pop dan K-Drama dan K lainnya sampai budaya Indonesia tidak diminati lagi (setidaknya berkurang drastis)?

Konon, kata kunci untuk mengulas hal ini ialah identity dan legacy. Orang Indonesia tidak lagi menguasai budaya Indonesia, karenanya juga tidak menikmati budaya Indonesia. Sebagian yang mencoba bertahan dengan pengharapan bahwa menggiati budaya Indonesia masih bisa memberinya makan, tapi lalu tak bisa apa-apa karena tidak memiliki legacy atas ilmu yang dia rasa dimilikinya.

Wanna talk about this, too? Kamu bisa kirim pesan ke sini.

Penyebab Kegagalan Komunikasi Pemerintah tentang COVID-19

COVID-19: Apa yang Membuat Kegagalan Komunikasi Pemerintah?

Pembubaran kerumunan warga oleh aparat terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia. Di tengah semakin mengganasnya penularan virus corona, sebagian masyarakat ternyata masih belum disiplin dalam menerapkan pembatasan sosial atau social distancing.

Mengapa seruan pemerintah tidak dipatuhi? Apa yang melatari kegagalan komunikasi pemerintah?

Ilmu Komunikasi mengenal istilah noise atau gangguan. Unsur noise sangat menentukan berhasil-tidaknya sebuah komunikasi. Noise dalam komunikasi bisa berupa gangguan fisik, gangguan teknis, gangguan semantik, dan gangguan psikologis (West dan Turner, 2008:12). Memang ada jenis noise lain seperti gangguan kultural, namun untuk mengulasnya dengan baik dibutuhkan kajian tersendiri.

Pertama, gangguan fisik yang disebabkan kondisi biologis. Misalnya saja kelompok disabilitas tuli yang memiliki metode komunikasi khusus. Komunikasi dari otoritas kepada mereka mengalami gangguan kalau informasi tentang corona di TV tidak menyertakan Bahasa Isyarat. Begitu pula dengan disabilitas netra yang tidak dapat menerima informasi melalui media cetak atau media luar ruang seperti pamflet atau infografis corona.

Kedua, gangguan teknis, yang bisa terjadi jika ada komponen teknis yang menghambat penyaluran informasi. Contoh: tidak semua masyarakat Indonesia memiliki jaringan internet atau kuota data yang memungkinkan untuk mendapatkan perkembangan informasi sebaran kasus corona melalui situs resmi pemerintah. Hal ini dapat berdampak pada kesadaran dan kewaspadaan masyarakat terhadap ancaman virus corona.

Ketiga, adalah gangguan semantik yang disebabkan oleh adanya kendala kebahasaan dalam mengirim dan menerima informasi. Telah banyak narasumber ahli berkomentar di TV dan berbagai media lainnya dalam menjelaskan virus corona. Namun, tidak jarang mereka menggunakan bahasa yang sulit untuk dipahami oleh orang awam. Di antara istilah yang cukup populer misalnya adalah lockdown, social distancing, hand sanitizer, mortality rate, ODP, dan PDP.

Demikian juga dengan frase “penutupan tempat ibadah” yang terkesan adanya larangan untuk beribadah. Padahal, maksud pemerintah adalah mengimbau masyarakat untuk menghindari kerumunan, termasuk kerumunan jamaah saat ibadah di masjid. Komunikasi pemerintah seharusnya lebih menekankan pada anjuran untuk beribadah di rumah ketimbang “penutupan tempat ibadah”.

Bagaimanapun, persoalan komunikasi adalah tentang bagaimana sebuah pesan sampai dan dimengerti oleh kelompok sasaran. Tiap kelompok memiliki karakteristik dan kompetensi bahasa yang beragam. Ibu-ibu di pasar berbeda dengan remaja yang nongkrong di kafe atau kelompok bermain anak-anak.

Dalam konteks itu, gagasan two-step flow of communication dari Paul Lazarsfeld perlu dipahami, khususnya oleh pihak otoritas seperti pemerintah. Gagasan ini mengasumsikan bahwa orang kebanyakan pandangannya banyak dipengaruhi oleh opinion leaders, di mana para opinion leaders ini juga dipengaruhi pandangannya oleh media massa. Singkatnya, opinion leaders berperan menjembatani pesan dari media ke masyarakat luas.

Dengan memahami ini, pemerintah bisa meminta bantuan kepada pihak-pihak tertentu untuk mengadaptasi istilah-istilah sulit. Diksi “social distancing”, misalnya, oleh guru terhadap muridnya dapat diganti dengan kalimat “kita jaga jarak dari orang lain supaya kita aman dari virus jahat corona”; atau “penutupan tempat ibadah” yang oleh ustaz ke jamaahnya dapat diperbaiki dengan “penundaan jumat berjamaah untuk menjaga keselamatan jiwa umat”.

Kemudian, yang keempat, adalah gangguan yang berdimensi psikologis. Untuk memahami ini, kita perlu untuk memahami konsep “frame of reference” dari Wilbur Schramm (1971). Frame of reference merupakan keseluruhan pengalaman, nilai-nilai, harapan, status sosial ekonomi, hingga preferensi politik individu. Semakin luas jurang perbedaan frame of reference antara komunikator dengan komunikan, maka akan semakin besar pula gangguan komunikasi.

Terlepas dari normativitas alasan ekonomi, fenomena ketidakpatuhan masyarakat terhadap imbauan pembatasan sosial juga dapat disebabkan adanya political prejudice (prasangka politis) dari masyarakat terhadap pemerintah dan media. Hal ini dilatarbelakangi oleh adanya memori historis publik terhadap citra pemerintah. Publik akan mengingat jejak inkonsistensi kebijakan yang pernah dijanjikan oleh pemerintah.

Sebagai contoh misalnya adalah pengumuman Presiden Joko Widodo tentang relaksasi kredit bagi kreditur ojek daring dan pelaku UMKM yang sampai hari ini belum terealisasi sepenuhnya. Demikian juga dengan adanya ketidakcocokan data pasien COVID-19 antara yang dimiliki oleh Pemprov DKI Jakarta dan Sumatera Barat dengan data yang dimiliki oleh pemerintah pusat.

Implikasinya, sebagian publik memiliki kekecewaan atau ketidakpercayaan terhadap institusi pemerintah. Inkonsistensi seperti ini akan memicu kegagalan komunikasi antara pemerintah dan rakyatnya, sebagaimana yang digambarkan oleh J. Michael Sproule:

“Ketika orang ditipu, mereka tidak mempercayai sumber yang telah menipunya. Jika mayoritas dari sumber informasi yang ada di masyarakat bertindak tanpa mempertimbangkan kejujuran dalam berkomunikasi, maka semua komunikasi menjadi lemah” (1980:282).

Apalagi Fiske (1987:126) dalam bukunya Television Culture menjelaskan bahwa konsumen media memiliki agensi untuk membentuk makna sesuai keinginan mereka sendiri. Misalnya, kampanye “Darurat Corona” dan “social distancing” dapat dimaknai oleh kalangan tertentu sebagai bagian dari teater politik penguasa untuk mempertahankan pengaruhnya.

Lantas pelajaran apa yang harus dipetik dari fenomena komunikasi di atas?

Pertama, komunikasi adalah subsistem dari sistem politik atau negara. Ibarat manusia, negara adalah tubuh dan komunikasi adalah darahnya. Sehatnya sebuah kehidupan bernegara sangat bergantung pada kualitas dan kuantitas peredaran darah pada setiap organnya.

Kedua, dalam situasi darurat bencana, baik itu alam maupun non-alam, seharusnya setiap jenjang otoritas hendaknya memiliki strategi dan perencanaan komunikasi yang komprehensif dan terkoordinasi. Tentu kebijakan komunikasi harus pula mempertimbangkan aspek keterbukaan informasi publik. Negara harus memastikan tidak ada warganya yang harus menanggung risiko maut akibat kebuntuan komunikasi.


Artikel ini memakai lisensi Creative Commons Atribution-Noncommercial. Pertama kali dimuat di laman remotivi.or.id, ditulis kembali dengan pengubahan seperlunya.

Thanks: Buah dari Totalitas

Korea? Operasi plastik? Oppa ganteng?

Sudah tidak asingkan dengan kata-kata itu? Sebagai penikmat musik, Saya hanya ingin mengomentari lagu group boyband kesukaan saya dari negeri ginseng itu. Tidak ingin mengundang pertengkaran antara K-Popers dan nonK-Popers.

Sedikit out of topic nih, KPop adalah kependekan dari Korean pop, atau jenis music populer yang berasal dari Korea Selatan. Tidak jarang penyanyi asal korea selatan ini sukses di manca negara, bahkan melakukan tur sampai ke penghujung dunia. Contohnya boygroup yang akan kita bahas ini, Seventeen. Mereka baru saja melakukan tur yang berjudul “Ode to You” ke 13 negara.

Kalau membahas tentang KPop, hal yang paling dinantikan fandom adalah comeback, baik album ataupun single dari lelaki dan wanita yang dianggap bak dewa-i dan dikhayalkan muncul tiba-tiba di samping mereka sebagai sebagai kekasih. (Hehehe ..) Dan comeback Seventeen pada 5 Februari 2018 lalu berisi 17 lagu, dengan lagu andalan Thanks (atau gomapda dalam bahasa Korea) yang menuai banyak pujian.

Cerita sedikit, saya baru menyukai (jatuh cinta, tepatnya) boygroup ini pada beberapa bulan lalu. Berisi 13 personil yang menyanyikan lagu ini dengan sangat amat apik, dance yang susah namun menakjubkan, music video yang tak kalah keren, fanchant untuk para fans sangat membuat saya takjub dengan ke 13 member ini. Pada saat pertama sekali mendengar kata Seventeen, Saya berfikir mereka mempunyai 17 member. Ternyata mereka hanya 13 personil, dibagi dalam 3 unit dan bersatu dalam 1 team ( 13+3+1=17).

Jujur, saya lebih suka berbicara tentang membernya daripada musiknya, bukan karena musiknya tidak bagus, tetapi karena member-nya lebih menarik. Daripada melebar kemana mana, langsung saja kita membahas Thanks.


Lirik Thanks

난 그랬던 것 같아 네가 어디 있던지
nan geuraetteon geot gata nega eodi itteonji
Aku rasa aku selalu seperti itu, dimanapun kau berada

들릴 때라면 고민도 없이
deullil ttaeramyeon gomindo eopshi
Ketika aku mendengar tentangmu

뛰어 갔었던 그때 그때
ttwieo gasseotteon geuttae geuttae
Aku langsung berlari padamu

어렸던 내 맘은 짓궂은 장난이 다였나 봐
eoryeotteon nae mameun jitgujeun jangnani dayeotna bwa
Waktu itu, sepertinya hatiku hanyalah sebuah lelucon

웃는 너를 보는 내 기분이 뭔지
utneun neoreul boneun nae gibuni mwonji
Setiap kali aku melihatmu tertawa

배운 적 없어서
baeun jeok eopseoseo
Aku tak pernah belajar

표현을 못 했어 내 맘이 서툴러서
pyohyeoneul mot haesseo nae mami seotulleoseo
Sehingga sulit untuk mengungkapkan perasaanku

너의 내일이 되고 싶어서 오늘을 살아왔어
neoye naeiri doego shipeoseo oneureul sarawasseo
Aku ingin menjadi masa depanmu dan tetap hidup seperti ini

너를 처음 본 날 그때부터 지금까지
neoreul cheoeum bon nal geuttaebuteo jigeumkkaji
Semenjak pertama kali aku melihatmu sampai sekarang

내 맘속에는 너만 있어
nae mamsogeneun neoman isseo
Hanya ada dirimu dalam hatiku

뻔하디뻔한 이 말을 내가 이제서야 꺼내 보지만
ppeonhadippeonhan i mareul naega ijeseoya kkeonae bojiman
Sekarang aku akan mengatakan kata yang jelas itu

뻔하디뻔한 이 말이 전해는 질까요 yeah
ppeonhadippeonhan i mari jeonhaeneun jilkkayo yeah
Tapi akankah kata itu bisa membuatmu mengerti yeah

고맙다 고맙다 또 고맙다 뿐이지만
gomabda gomabda tto gomabda ppunijiman
Terima kasih, terima kasih dan hanya terima kasih

기다림까지 그리움까지
gidarimkkaji geuriumkkaji
Untuk penantian, kerinduan

우리 추억까지
uri chueokkkaji
Dan juga kenangan

고맙다 yeah
gomabda yeah
Terima kasih yeah

고맙다 yeah
gomabda yeah
Terima kasih yeah

너무 흔한 말이라 내 마음이 담길까
neomu heunhan marira nae maeumi damgilkka
Tapi itu hanya kata biasa, aku takut kau tak mengerti

걱정돼서 하지 못했던 말
geokjeongdwaeseo haji mothaetteon mal
Itulah mengapa aku tak bisa mengatakannya

[준/호시] 고맙다는 말보다 예쁜 말을 찾다가
[J/HS] gomabdaneun malboda yeppeun mareul chattaga
Aku mencoba mencari kata yang lebih indah dari ‘terima kasih’

[준/호시] 고맙다고 하지 못했던 나
[J/HS] gomabdago haji mothaetteon na
Tapi aku tak bisa mengatakan apapun

표현을 못 했어
pyohyeoneul mot haesseo
Aku tak bisa mengungkapkan perasaanku

용기가 부족해서
yonggiga bujokhaeseo
Karena aku tak berani

사랑이란 말을 조금이라도 일찍 알았다면
sarangiran mareul jogeumirado iljjik arattamyeon
Seandainya saja aku tahu ‘cinta’ sedikit lebih awal

[민규/버논] 너를 처음 본 날 그때부터 지금까지
[MG/VN] neoreul cheoeum bon nal geuttaebuteo jigeumkkaji
Sejak pertama kali aku melihatmu sampai sekarang

내 맘속에는 너만 있어
nae mamsogeneun neoman isseo
Hanya ada dirimu dalam hatiku

뻔하디뻔한 이 말을 내가 이제서야 꺼내 보지만
ppeonhadippeonhan i mareul naega ijeseoya kkeonae bojiman
Sekarang aku akan mengatakan kata yang jelas itu

뻔하디뻔한 이 말이 전해는 질까요 yeah
ppeonhadippeonhan i mari jeonhaeneun jilkkayo yeah
Tapi akankah kata itu bisa membuatmu mengerti yeah

고맙다 고맙다 또 고맙다 뿐이지만
gomabda gomabda tto gomabda ppunijiman
Terima kasih, terima kasih dan hanya terima kasih

고맙다 고맙다 또 고맙다 뿐이지만
gomabda gomabda tto gomabda ppunijiman
Terima kasih, terima kasih dan hanya terima kasih

기다림까지 사랑이 뭔지 알려준 너에게
gidarimkkaji sarangi mwonji allyeojun neoege
Untuk penantian juga untuk mengajariku apa itu cinta

고맙다 yeah
gomabda yeah
terima kasih yeah

고맙다 yeah
gomabda yeah
terima kasih yeah

내 맘 변하지 않아 절대 변하지 않아
nae mam byeonhaji ana jeoldae byeonhaji anha
Hatiku takkan berubah, tak akan pernah

네가 나를 지운다 해도
nega nareul jiunda haedo
Meskipun kau melupakanku

[조슈아/All] 우린 변하지 않아
[JS/All] urin byeonhaji ana
Kita tak akan berubah

[조슈아/All] 서로에 맘에 새겨져 있으니까
[JS/All] seoroe mame saegyeojyeo isseunikka
Karena sudah terukir di hati kita

(새겨져 있으니까)
(saegyeojyeo isseunikka)
(sudah terukir)

고맙다 yeah
gomabda yeah
Terima kasih yeah

고맙다 yeah
gomabda yeah
Terima kasih yeah

너에게 너에게 전해졌음 해 이 노래가
neoege neoege jeonhaejyeosseum hae i noraega
Semoga lagu ini bisa mengungkapkannya padamu

고맙다
gomabda
Terima kasih

고맙다
gomabda
Terima kasih

 


Siapa Seventeen?

Thanks ditujukan khusus bagi carat (sebutan bagi para penggemar Seventeen). Lirik lagu menceritakan bagaimana seorang lelaki yang sangat ingin selalu berada disamping pujaan hatinya, tetapi dia sulit mengungkapkan perasaannya. Akhirnya ia memutuskan untuk mengungkapkannya melalui sebuah lagu. Tentu saja, setiap penggemar yang akan kegirangan mengetahui bahwa Seventeen mengucapkan terimakasih berkali-kali untuk mereka. Pertahanan hati setiap penggemar runtuh.

Boyband yang eksis di bawah label Pledis Entertaiment ini membawakan lagu yang diciptakan oleh salah satu member mereka, Woozi, sang leader unit vocal sekaligus produser. Mereka berhasil menempati posisi pertama di album chart di 29 negara. Music dengan EDM tidak menghalangi sang produser untuk tetap membuatnya lagunya berwarna dan lirik yang bermakna mendalam. Penampilan mereka keren karena tarian mereka yang sangat harmonis. Ciri gerakan mereka dalam lagu ini adalah menautkan kedua jari kelingking a.k.a “pinky promise” yang menunjukkan janji mereka pada carat. Koreografi yang sangat apic ditunjukkan pada saat mereka tampil dipanggung. Pada saat menyanyikan “gomapda” mereka menepuk bahu kiri sebagai tanda bahasa isyarat terimakasih, mereka juga secara bergantian berdiri membentuk huruf hangul 고맙다.

Tidak hanya unggul dibidang dance perfomance, suara mereka tidak kalah bagus dan stabil saat bernyanyi diatas panggung, dengan beberapa bagian rap yang membuat lagu ini sungguh mahal. Setiap member dapat bernyanyi dengan baik, walaupun mereka bukan penyanyi hip-hop. Keunikan lainnya, grup ini sangat terkenal dengan keterlibatan membernya pada proses produksi, mulai dari menyusun lyric, memproduksi music, melakukan rekaman, menyusun koreografi, memikirkan konsep music video bahkan fanchant atau teriakan fans saat mereka tampil. Tidak heran jika seluruh konsep lagu Thanks ini sangat menyentuh hati penggemar. Buah dari totalitas dan kerjasama dari tiga belas lelaki.

Sebenarnya, memaknai lirik dengan bahasa asing sangatlah sulit, karena kita harus menterjemahkannya terlebih dahulu. Tetapi, jika sudah menyukai K-Pop dan sudah terbiasa dengan bahasa korea, akan memudahkan kita untuk mengerti sedikit makna lagu Seventeen ini. Sebagai penggemar mereka, Saya rela mencari arti lagu ini, mencari tahu tentang semua yang berkaitan dengan lagu ini. Buktinya, dengan effort saya menulis kritik seni ini. Lirik yang paling membuat saya terharu adalah Urin byeonhaji anha Seoroe mame saegyeojyeo isseunikka, yang berarti kita tak akan berubah, karena sudah terukir di hati kita.

Drop lagu ini sangat pas, cenderung ringan sehingga dapat didengarkan pada saat mood baik ataupun jelek. Lirik pertama yang dinyanyikan Joshua dengan suara yang lembut, pelan pelan membawa pendengar pada emosi lagu ini, di lanjutkan dengan Hoshi, Jonghan, dan The 8 dengan warna suara yang lembut juga. Lirik rap dinyanyikan oleh Vernon, Wonwoo, Mingyu dan S.Coups dengan suara berat dan vocal tebal membuat emosi lagu ini naik dan mencapai puncak saat DK dan Sung Kwan menyanyikan nada tinggi dan warna suara yang lebih tebal, tetapi dengan cepat Woozi dapat menurunkan kembali emosi.

Sebagai carat, saya memberi nilai ten out of ten untuk lagu ini. Sempurna.

Referensi:
  1. Music video
  2. Dance practice
  3. Perfomance
  4. Fanchant

Penulis: Jessica Miranda Butarbutar (Siswi XII IPA 2 SMA Budi Mulia Pematangsiantar T.P. 2019-2020)

Kita ini sama-sama Parasit

Film Parasite

“Parasite” merupakan salah satu film paling sukses secara komersial di Korea Selatan. Film ini benar-benar menggambarkan bagaimana sebuah parasit terus menggerogoti induk semangnya. Parasit digambarkan sangat mengerikan bahkan bisa membuat sang induk semang menderita. Seiring dengan penghargaan prestius yang didapatnya, film ini meraih kritikan positif yang luar biasa, dan sering kali digadang-gadang sebagai salah satu film asal Korea Selatan terbaik sepanjang masa, serta salah satu film terbaik di dekade 2010-an.

Adalah tangan dingin Bong Joon-ho yang menulis, menyutradarai dan memproduseri Parasite sampai mencapai titik kegemilangannya yang tertinggi di bawah bendera Barunson E&A Corp: Ya, sebuah Piala Oscar untuk kategori Film Terbaik dalam Academy Awards 2020 yang digelar di Dolby Theatre, Hollywood, California, Minggu (9 Februari 2020) waktu setempat. Parasite sukses mencatat sejarah sebagai film berbahasa asing pertama yang berhasil meraih Oscar dalam kategori Best Picture. Piala Oscar yang diraih Parasite tidak hanya itu. Sebelumnya, Film Internasional Terbaik, dan yang tidak kalah bergengsi yakni pemenang Sutradara Terbaik. Tentu saja, Parasite kemudian dipuji setinggi langit oleh publik negara asalnya sendiri, Korea Selatan.

Dibalut dengan komedi, film thriller ini pun penuh dengan pertarungan antara keserakahan dan segala prasangka yang dengan apik diperankan oleh Song Kang-ho sebagai Ki-taek, Jang Hye-jin sebagai Choong-sook, Choi Woo-shik sebagai Kim Ki-woo, dan Park So-dam sebagai Kim Ki-jung.

Mengapa Parasite sangat terkenal?

Tema utama Parasite adalah perjuangan kelas dan kesenjangan sosial. Kritikus film (termasuk Joon-ho sendiri) menganggap film ini sebagai cerminan kapitalisme zaman modern. Beberapa kritikus lainnya mengaitkan dengan istilah “Neraka Joseon” yang terutama populer di kalangan orang muda pada akhir 2010-an untuk menggambarkan kesulitan hidup di Korea Selatan.

Judul film ini awalnya adalah Décalcomanie, yang menurut Joon-ho dalam wawancaranya terilhami dari konsep seni rupa decalcomania (seni menerapkan desain dari kertas ke media berbahan gelas atau porselen). Namun, judul tersebut kemudian diganti dengan “Parasite” karena memiliki makna ganda. Joon-ho mengatakan, “Karena cerita ini mengenai keluarga miskin yang menyusup dan merayap ke dalam rumah orang kaya, tampaknya sangat jelas bahwa Parasite mengacu kepada keluarga miskin, dan saya pikir itu sebabnya tim pemasaran agak ragu. Namun, jika Anda melihatnya dengan cara lain, Anda dapat mengatakan bahwa keluarga kaya, mereka juga parasit dalam hal pekerjaan. Mereka bahkan tidak bisa mencuci piring dan menyetir sendiri, sehingga mereka lintah dari pekerjaan keluarga miskin, sehingga kedua keluarga tersebut adalah parasite.”

Parasite mengisahkan kehidupan keluarga Kim Ki-taek (Song Kang-ho), seorang supir cabutan yang menikah dengan istrinya Choong Sook (Jang Hye-jin) bersama dua anak mereka yang sudah berusia belasan tahun di sebuah apartemen bawah tanah yang tak layak huni. Mereka semua pengangguran. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, mereka menggantungkan diri pada pendapatan kecil dari melipat kotak pizza.

Suatu hari, putra dalam keluarga itu, Ki-woo mendapatkan pekerjaan mengajar les yang memungkinkan ia memperoleh pendapatan tetap. Pekerjaan itu sendiri sebenarnya didapat Ki-woo untuk menggantikan temannya yang melanjutkan kuliah di luar negeri. Menjadi tumpuan keluarganya, Ki-woo kemudian datang ke rumah keluarga yang akan membayarnya sebagai guru les, keluarga Park yang merupakan pengusaha di bidang IT. Namun saat Ki-woo tiba di rumah keluarga Park dan bertemu dengan seorang wanita muda dari rumah itu, Yeon-kyo, saat itulah strategi untuk menarik keluarganya dari kemiskinan dimulai.

Pelan tapi pasti, antara kedua keluarga yang berbeda strata ekonomi pun terjalin simbiosis. Keluarga Kim menyediakan layanan kemewahan untuk keluarga Park yang mengeluarkan keluarga Kim dari lingkungan miskin. Namun simbiosis itu tak bertahan lama.


Kita ini Sama-sama Parasit

Satu hal yang pasti: Hadirnya film Parasite membuat Asia semakin terkenal di dunia perfilman. Film ini membawa dampak positif juga di negara asalnya. Karena film ini, Pemerintah Kota Seoul menyatakan akan membantu 1.500 rumah tangga miskin di Seoul untuk meningkatkan kehidupannya, terutama masyarakat yang tinggal di apartemen semi-basement seperti yang digambarkan dalam film Parasite.

Ini sungguh kenyataan yang menyejukkan: Bahwa seni, sekali lagi, kembali ke fitrahnya: menginspirasi manusia untuk melakukan sesuatu bagi masyarakat dan dunia. Parasite menyindir kondisi di Seoul, membuat pemerintah semakin berkaca untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya. Pada tataran moral, Parasite kembali mengingatkan kita bahwa kerap kita (yang kaya dan yang misikin) parasit satu sama lain. Kita tak bisa hidup tanpa induk semang kita.

Jika orang lebih senang disebut sebagai homo socius, bukan homo lupus yang saling memangsa bak parasit, itu artinya dia mesti berfikir dan bertindak lebih baik lagi. Sangat jelas dipesankan bahwa kita adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. “No Man is an Island”, kata seorang penyair.


Disadur seperlunya dari tulisan Micheel Cordes Sinaga, siswi XII IPA SMA Budi Mulia Pematangsiantar T.P. 2019-2020